Rabu, 14 November 2007

KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia

Awal Kata

Assalamu'alikum Wr.Wb

Apa sesungguhnya yang paling bernilai dalam kehidupan ini? Capaian tertinggi apa yang diimpikan setiap orang sebagai refleksitas dari sebuah keberhasilan puncak dalam kehidupannya? Jawabnya akan sangat tergantung kepada siapa yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Namun satu hal yang pasti, faktor inilah yang telah membuat sebuah pemahaman terhadap makna kebahagiaan sejati bisa menjadi serba multi tafsir dan multi dimensional.
Melalui kolom-kolom berikut ini, bagi mereka yang berkenan, saya mencoba menawarkan berbagai bahan pemikiran untuk ditelaah, direnungkan sekaligus juga disimulasikan kepada upaya pencapaian kualitas kehidupan yang lebih baik, dalam persfektif kerangka pemahaman universal maupun spiritual.
Apa yang saya utarakan sesungguhnya hanya sebatas garis bawah dari apa yang telah Anda ketahui. Karena itu, ia bisa terkesan sudah sangat biasa dan klasik. Tetapi justru kealpaan banyak kita dalam mencerna banyak permasalahan dalam kehidupan ini, penyebab hilangnya kehidupan yang berkearifan banyak di antara kita, justru antara lain akibat melupakan apa yang dimaksudkan sebagai garis bawah ini.
Kolom-kolom ini sendiri ditulis pada saat apa yang dijadikan topiknya sedang hangat dalam pemberitaan media massa dan tidak pernah diedit kembali.

Semoga Bermanfaat. Wassalamu'alaikum Wr.Wb





Mari Menjadi Failusuf



FAILUSUF adalah penggemar monologi dengan jalan pikiran yang aneh. Mereka yang terus mabuk memamah dan memuntahkan kata-kata sulit, sambil melambungkan pikiran ke langit tinggi fatamorgana substansi dunia. Dan mereka yang tertarik, harus rela menjadi martir di lautan kata-kata, cuma untuk menyederhanakan jalan pikiran mereka.
Tetapi mengapa seorang failusuf harus mencari kalimat yang demikian rumitnya sekadar untuk mengungkapkan tentang makna kausalitas atau kebenaran? Harus rela memutar kepala, demi keutamaan abstraksi yang berenang di samudera istilah yang demikian ambiguitas, karena dibuat sangat kaya dengan rona dan makna?
Mengapa ketika para ilmuwan memecah-belah keseluruhan bagian, para failusuf justru mengintegrasikannya menjadi keseluruhan? Mengapa ketika para fisiolog mendalami organ-oran tubuh manusia, seorang failusuf lebih mabuk untuk mempelajari manusia itu sendiri? Dan di saat para biolog gemar mengurai satu persatu kehidupan organisme, mengapa pula para failusuf justru berusaha menemukan hakikat kehidupan?
Ada sebuah kalimat pendek untuk menyederhanakan jawaban dari rangkaian pertanyaan sulit di atas ini. Karena para failusuf mencari hakikat kehidupan yang terbijak, melalui inti dari spektrum gemerlapnya cahaya pemikiran.
Kita –oleh faktor ini--- bisa jadi akan berada di posisi yang demikian berjarak, baik secara logika, intuisi, teologis dan metafisis dengan mereka. Kita yang awam, mencari kebenaran dan kebijakan kehidupan, cukup lewat jalan pintas di jembatan akal budi dan keyakinan agama. Sedang seorang failusuf melintas di titian kecemerlangan kekayaan pemikiran mereka. Pada saat kita berjuang sebatas mengejar keunggulan, mereka justru mencari kesempurnaan.
Namun siapapun dia, seorang failusuf, pertapa, sufi atau manusia-manusia sederhana semacam kita, pada intinya ingin kehidupan yang berkualitas. Yang membedakan tinggal lagi persepsi masing-masing kita tentang kualitas yang dimaksudkan itu. Dan saya percaya, kualitas hidup seseorang ---seperti juga takdir---, sangat ditentukan oleh wataknya.
Saya tidak percaya Anda bisa dengan tulus menghargai seorang pejabat tinggi atau orang kaya, yang Anda tahu berwatak kurang baik. Tapi saya percaya Anda bisa dengan jujur menghargai seseorang biasa yang berwatak baik. Seperti juga saya percaya Tuhan lebih mencintai hamba-Nya yang berwatak baik, ketimbang seorang ulama yang berwatak buruk.
Kemashuran, kata pakar kepribadian Jackson Brown Jr, hanya lewat sesaat. Uang juga punya sayap. Sementara popularitas cuma kebetulan. Satu-satunya milik Anda yang tetap bertahan, adalah watak. Logikanya, sangat tidak bijak, jika seseorang lebih memilih untuk memuliakan kemashuran, harta dan popularitasnya, ketimbang wataknya.
“Manusia tidak perlu merasa hancur pada saat kehilangan harta, tetapi dia harus merasa bangkrut, malu dan binasa saat kehilangan watak baiknya,” kata al Hujwiri, penulis Kasyf al-Mahjub, buku tentang uraian spiritual para sufi yang terkenal. Kualitas hidup Anda ditentukan oleh watak Anda, tambah lain James Champy lewat buku Manajemen Rekayasa Ulang.
Puluhan buku yang ditulis para pakar pembangunan pribadi seperti Dale Carnegie, Zig Ziglar, Robyn Spizman, Charles Nobel, Peter Lauster, Julius Fast dan sejumlah nama tenar lainnya, intinya hanya mengajarkan kepada satu tujuan. Bagaimana memperoleh keunggulan dalam kehidupan. Bukan kesempurnaan. Dan keunggulan kehidupan hanya mampu tegak di altar watak yang baik.
UNTUK memahami kebijaksanaan hidup, pelajarilah filsafat, saran Thoreau. Atau lebih tegasnya, mari menjadi failusuf untuk bisa hidup dengan lebih bijak. Perlukah?
Mungkin tidak. Tak perlu menjadi failosof untuk bisa hidup lebih bijak. Karena kita cukup membangun keunggulan kehidupan melalui watak yang baik. Bukan terbang tinggi di awang-awang pemikiran untuk memburu sesuatu yang bernama kesempurnaan.
Kita perlu harga diri, bukan kemegahan. Kita sebatas butuh rasa hormat, bukan semata pangkat dan kedudukan. Kita suka kesederhanaan yang tulus, bukan senyum hangat yang kemudian mencibir di belakang.

Kita bukan orang yang mau dan mampu untuk terus berenang di gelombang tinggi lautan pemikiran. Merenda hidup dengan terus menggosok batu akal budi untuk mencptakan keniscayaan yang bernama intan kesempurnaan. Kita bukan Si Pengangkat Dagu yang melihat tumpukan harta dan gemerlap pangkat sebagai ukuran sukses kehidupan dunia. Kita bukan Tikus busuk yang rela mengorek lubang kotoran, menyelinap di antara sampah menjijikan, karena ambisi ingin memanjat di ketinggian.
Kita (harusnya) tetap saja menjadi manusia biasa. Seseorang yang berkata jika kebahagiaan sejati bisa dijangkau cukup dengan watak baik dan keyakinan kepada kebenaran semua hukum Tuhan, mengapa pula harus mau bersusah-payah mejadi martir di samudera tipu-daya dan angan-angan?***




Jubah

KETIKA kehormatan bersumber dari atribut, maka distansi antara kemuliaaan dengan kehinaan, hanya terpisahkan oleh selapis tabir yang teramat tipis. Kehormatan diri, hanya berjarak selangkah dengan kenistaan.

Abi Ishak melepaskan rangkaian bersin yang keras itu dengan tubuh tergoncang. Lalu tanpa sadar kemudian, jubah jabatan baru yang melekat indah di tubuhnya dijadikan pengusap kotoran yang melekat di hidung dan mulutnya.

Sekejap ruang megah yang menjadi tempat acara pelantikan dua pejabat penting di Surraman Mediterian itu berubah sepi. Ratusan pasang mata memandang tegang kepada Abi Ishak yang tegak berdiri di samping Abu Bakar Dalap al-Sybli, pejabat lain yang dilantik bersamanya hari itu. Mereka menanti apa yang akan dilakukan Khalifah yang sedang menatap Abi Ishak dengan geram.

Mengapa jubah jabatan yang megah itu harus diperlakukan sehina tisu di tempat pembuangan? Bukankah seseorang yang sekerdil apapun, segera terangkat naik, saat menyandang seperangkat pakaian kebesaran? Kebodohan apa yang menggerakan seseorang untuk mendustakan pengaruh sepotong jubah yang sarat dengan kilau kemegahan? “Tanggalkan pakaian itu, dan keluarlah dari Istana ini,” perintah Sang Khalifah kemudian.

Peristiwa di Khurrasan Irak tahun 891 itu, menjadi titik awal dari perubahan drastis jalan hidup salah seorang pejabat tinggi pemerintah yang kemudian menjadi sufi besar dari Surraman. Dan tokoh itu bukan Abi Ishak Sang Pejabat yang dipecat, tetapi rekannya yang juga ikut naik pangkat, Abu Bakar Dalap Ibnu Hajar al-Sybli.

“Aku tak ingin memindahkan kehormatan diriku kepada hanya sepotong jubah jabatan,” kata Si Pendahaga Ilmu Tauhid ini, setelah mundur dari pemerintahan, dan mulai memasuki dunia tasawuf, dengan bergabung ke kelompok spiritual pimpinan Khair as-Nassaj di Bagdad.

PROCEDERE Processi Prosessum. Filsuf Augustinus menegaskan makna keharusan iman mendahului pemahaman. Fakta bahwa akal bersujud di kaki iman, yang menekankan kelebihrendahan rasio dibandingkan wahyu. “Credo ut intelligam,” kata lain Aselmus lewat diktum argumen ontologismenya yang terkenal. Saya percaya, agar saya bisa mengerti. Dalam perspektif pemikiran yang lebih utuh, Al Ghazali juga banyak mencontohkan kemahabenaran wahyu melewati variabel rasio secara saintifik dan empiristik.

“Tuhan mengukur kemuliaan dan kehormatan manusia dari ketakwaan kepada-Nya. Dan sifat takwa itu sendiri mencerminkan wujud kecemerlangan akal budi manusia, tidak hanya sebatas dalam makna hubungan secara vertikal dengan Sang Maha Segala, tetapi juga dalam konteks sesama insan dan seluruh alam semesta,” kata al-Sybli. Dia ingin menegaskan bahwa ketika Tuhan menyatakan keimanan kepada-Nya sebagai ukuran kesejatian harkat kehormatan dan kemuliaan seseorang, maka setiap manusia harus mempercayainya terlebih dahulu, sebelum kemudian memahaminya secara rasio maupun empirik. Lalu, bagaimana mungkin dia bisa menerima pemikiran bahwa kehormatan dan kemuliaan seseorang justru hanya bergantung kepada selembar jubah jabatan? Yang pada saat Sang Jubah kotor atau hilang, maka Si Empunya harus terpuruk dalam kehinaan? Bukankah itu menantang kehendak Tuhan?

Tapi sangat banyak mereka yang percaya, bahwa kehormatan seseorang memang lebih terletak di atribut yang menutup tubuhnya, ketimbang di dalam tubuh yang ditutup atribut kemegahannya. Karena itu, saat kehilangan jabatan, seseorang bisa langsung dipandang telah kehilangan kemilau kemuliaan dan harga dirinya.

Abu Bakar Dalap Ibnu Jahar al-Sybli ingin mengajarkan kepada Sang Khalifah, bahwa derajat seseorang tidak diukur dari apa yang disandangnya. Itu sekaligus juga peringatan agar jangan sampai membuat jabatan sebagai sumber yang akan mengotori diri sendiri. Sebab jabatan bukan Si Penjaga dan Si Pemelihara diri, tetapi justru sebaliknya.

Selain itu banyak pejabat tinggi yang menyatakan siap untuk hidup tanpa jabatan. Yakin tak akan tergoncang jika kelak kehilangan apa yang sekarang dia pegang. Namun ketika saat itu tiba, toh dia tetap kecewa, gamang dan merasa telah sangat ditinggalkan. “Mengapa?,” tanya suatu ketika Al-Harist al-Muhasibi kepada salah seorang muridnya. Sang Sufi menjawab sendiri pertanyaannya, “karena orang yang mudah kecewa, termasuk golongan fakir yang papa, meskipun punya banyak harta”.

Tapi intinya mungkin, karena Sang Pejabat telah berdusta, saat mengatakan bahwa kehormatan dan kemuliaan seseorang tidak terletak di jubah jabatan yang sedang dia kenakan. Dia sesungguhnya masih tetap percaya, bahwa nilai diri seseorang ditentukan oleh pangkat, harta dan kedudukan. Karena itu, agar diri bisa lebih tampil di permukaan, maka pemburuan terhadap harta dan jabatan, menjadi kisah yang seolah tak pernah berpenghabisan. Orang-orang yang seperti ini menurut Napoleon Bonaparte, tanpa sadar telah meletakan kemuliaan dirinya, hanya berjarak selangkah dengan kenistaannya.***



Darah Haram

KETIKA filsafat dipandang sebagai atmosfir bagi substansi energi untuk mencapai kualitas kebijaksanaan tertinggi dalam kehidupan, seseorang sesungguhnya sedang merentas jalur menuju ke jalan Tuhan yg sejati. Dia sedang berpindah dari alam materi ke alam hikmah. Alam kearifan, di mana Tuhan menjadi tujuan akhir, sekaligus juga sebuah awal.

Tak ada catatan sejarah atau efigraf yang jelas membicarakan, mengapa Ibrahim al Husyri di tahun 954 secara halus, menolak jabatan sebagai Hakim Agung di Baghdad. Rela dihukum oleh Raja yang terhina karena penolakannya. Tetapi ketika dia menyebut bahwa jangan memilih bermukim di matahari andai engkau tak ingin terbakar, filsuf yang juga Guru Besar satu mazhab dengan sufi masyhur Dalf Asy Syibli tersebut, menyiratkan pandangan sederhananya terhadap bahaya kemegahan dunia.

Husyri lebih memilih bernafas di alam hikmah, ketimbang alam materi. Dalam konsep kogensi emanasi Plotinus, dunia materi memang berada di hierarki terendah dari Akal Pertama, alam spiritual atau Tuhan. Seperti konsep filsafat Ibnu Arabi, yang menganggap mineral sebagai wadah tajalli (penampakan) terendah, dibandingkan Insan Kamil. Manusia Suci, haqiqat al haqa’iq, Nur Muhammad, yang mampu menampilkan citra dan sifat-sifat Tuhan di dunia.

Pilihan untuk selalu berusaha menghindari sumber kehilafan dan dosa-dosa, memang menjadi pilihan mereka yang meletakan dunia pada hierarki terendah. Alternatif ini memang bisa menjadi sebuah debat yang panjang manakala konsep Adi Kodrati tentang manusia sebagai Khalifah, mahluk pembawa amanah di muka bumi dari faham neo sufisme, dijadikan sandaran argumentasinya.

Bukankah seseorang mustahil memperbaiki lubang sebuah sumur tanpa turun ke dalam bahkan ke dasar sumurnya? Padi tak akan tumbuh baik tanpa kemauan untuk mencebur ke sawah, bergelimang dengan lumpur, memilah antara rumput dan tanaman yang harus dicabut. Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang Rasul, Pemimpin Agama, Pemimpin Umat, Panglima Perang, Pemimpin Pemerintahan, sekaligus juga seorang pengusaha.

Filsafat, seperti juga wujud pemikiran spiritualistik dan metafisis lainnya, dengan demikian, harusnya bukanlah sebuah kajian yang selalu identik sebatas akan membawa manusia ke balik tembok-tembok sepi, gua-gua yang terasing atau menara gading. Mungkin benar pada pendalaman kognisinya, tetapi tidak pada aplikasinya. Karena manusia yang lahir awalnya sebagai mahluk yang bersih dan suci, menyandang kodrat untuk tidak hanya sekedar harus mempertahankan kesuciannya, sekaligus juga menebarkannya.

Tetapi apakah karena konsep pemikiran ini, pilihan Ibrahim al Husyri Sang Mujtahid yang secara total menolak tanggungjawab perbaikan manusia, karena ketakutan untuk berada di sumber kehilafan dan dosa-dosa menjadi sebuah pilihan yang salah? Seperti diutarakan tadi, ia akan bisa menjadi sebuah debat panjang yang sulit berkesudahan. Karena itu akan menawarkan banyak ruang makna dan pemikiran untuk disabung dan saling diargumentasikan.

Manusia akhirnya harus kembali ke pada dirinya sendiri, kepada kualitas kearifannya dalam menghadapi semua amanah tanggungjawab kodrati dunianya. Dalam konstelasi ini, urgensi pemahaman spiritual dan filosofis memang menjadi penting. Dengarlah apa yang dikatakan Al Husyri, ---seperti juga konsep filsafat para filsuf besar Muslim, Al Kindi, Ibnu Sina, atau Ibnu Tufayl--- yang mendasari ucapannya dari buah pencapaian kualitas keagamaan melalui proses penciptaan kualitas kebijaksanaan atau kearifan melalui filsafat.

“Tahukah engkau, jika memakan harta yang bukan hakmu, memakan barang-barang yang dilarang oleh ajaran agamamu, maka ia akan menjadi darah haram yang akan terus hidup, mengalir dan bergolak di sekujur tubuhmu? Bagaimana mungkin pemikiran-pemikiran yang baik, hal-hal yang suci, seperti keihlasan ketaqwaan kepada Tuhan akan bersedia hadir di tubuh dan pakaian yang haram? Tahukah engkau, bahwa keserakahan, kesombongan dan berbagai sifat buruk akan cepat bersarang di tubuh yang dibangun dengan barang-barang kotor dan terlarang? Bagaimana mungkin keluargaku, turunanku akan menjadi baik karena mereka sebenarnya telah hidup dan dibesarkan oleh harta yang bukan milik orang tuanya? Bagaimana mungkin aku bisa tentram beristirahat di alam baqa, jika telah mewariskan harta yang penuh bergelimang dengan lendir dan dosa-dosa?”.

Begitu banyak manusia yang mengeluh karena demikian sulitnya mengecap air kehidupan yang bersih, tanpa dia sendiri pernah mau membersihkan gelas kehidupannya yang kotor. Padahal hukum akal yang sederhana mengingatkan, bahwa gelas yang bernoda, selalu membuat isinya juga ikut ternoda.

KETIKA filsafat dipandang sebagai atmosfir bagi substansi energi untuk mencapai kualitas kebijaksanaan tertinggi dalam kehidupan, seseorang sesungguhnya sedang merentas jalur menuju ke jalan Tuhan yg sejati. Dia sedang berpindah dari alam materi ke alam hikmah. Alam kearifan, di mana Tuhan menjadi tujuan akhir, sekaligus juga sebuah awal.

Ini mungkin pemikiran yang kelewat jauh dan muluk. Wilayah orang-orang tertentu. Yang lebih kita butuhkan bukan samudera kata-kata dan jalan berliku menuju kepada kesempurnaan. Tetapi bagaimana berusaha dengan segala kesungguhan untuk mulai membersihkan secara bertahap, kegelapan dan kekotoran di gelas kehidupan masing-masing. Agar air jernih yang membawa cahaya, tidak lagi menjadi kotor tatkala dituang ke dalamnya**





Penakluk Sejati

ORPHEUS gemetar di atas ke dua kakinya. Kilap mata pedang besar di tangannya, beradu dengan kilau butir keringat di leher Akserullius yang sudah tak berdaya. Panglima perang dari dinasti Parnellope yang terluka ini, sekarang terkapar di tanah. Tenggelam dalam ketakutan dahsyat menanti kematian. Menara tinggi arogansi keperkasaannya telah tumbang. Terburai ke wujud kepingan-kepingan kecil yang bernama kehancuran dan kenistaan.

Apakah Sang Penakluk dalam adaptasi sebuah Opera mithologi Yunani kuno itu kemudian akan tetap mengayunkan pedang besar di tangannya? Sebagai sebuah garis bawah tebal dari proklamasi kemenangan sekaligus kebesaran dirinya? Akhirnya tidak. Orpheus menurunkan mata pedang itu dari leher Panglima Akserullius. Mencoba meredam api kemarahan yang berkobar di dada. Mencoba untuk tetap percaya, bahwa Penakluk Sejati adalah mereka yang mampu membuat Sang Lawan dikalahkan tanpa harus merasa kehilangan seluruh harapan terhadap kehormatan.

“Kita harus belajar untuk selalu memberikan teladan yang benar,” kata Ronald Reagan ketika masih menjadi presiden AS tentang kasus penembakan tak sengaja sebuah pesawat penerbangan sipil Iran oleh Kapal Penjelajah AS Vincennes, 3 Juli 1988 silam.

Para wartawan Amerika saat itu gusar dengan sikap ‘lembek’ Sang Presiden. Reagan dianggap menutup mata terhadap tindakan kejam yang telah dialami para sandera AS yang sebelumnya sempat ditahan di Iran. Di mata mereka, insiden yang menewaskan 290 penumpang hari itu sebagai pembalasan setimpal. Tak perlu lagi ada konpensasi kerugian kepada keluarga korban. Namun dengan arief, Reagan mengatakan “Saya tidak pernah menilai belas kasihan sebagai sebuah teladan yang buruk”.

Motivator Zig Ziglar menyeret kasus yang sama, dengan mengutip filsuf Emerson. “Mustahil seseorang mampu merampok atau melukai orang lain, tanpa dalam saat yang sama, merampok dan melukai dirinya sendiri lebih dari siapapun”.

Sekitar 700 tahun silam, dalam sebuah wejangan sufistik, Abu Na’im al-Asbahani menyebut umat manusia dalam perspektif ilmu tentang Tuhan, sebagai identik kilau lintas meteor di tata surya. Manusia sebatas fenomena alam, tetapi bukan alam itu sendiri. Mungkin seperti noktah yang berdepan dengan misteri kebesaran seluruh jagad yang maha luas ini.

Asbahani, penulis Hilyat al-Auliya, 10 jilid buku eksiklopedia mengenai 800 sufi di abad ke sembilan dan sepuluh itu, agaknya kembali mengingatkan, tentang kedhoifan pemahaman manusia terhadap perbedaan antara pakaian Tuhan dengan pakaian diri sendiri. Itu lahan subur bagi bibit kesombangan dan nafsu ingin menguasai yang tak mudah terkendali. Yang mematikan resistensi penala kepekaan batin di altar nurani. Yang menghentikan sebuah gerak temali mekanis dimana rasa iba, kemauan untuk menghargai dan egaliterianisme biasanya diproduksi.

Jiwa yang kotor –secara mengerikan--- kata Asbahani, akan membuat kita mampu merasa puas saat menyaksikan penderitaan orang lain. Jiwa yang kotor mengaleanasi diri dari instink kebahagiaan dalam menolong penderitaan sesama. Seperti sebuah software yang salah, kita terprogram untuk lebih gampang merugikan orang lain, di saat melihat sebuah celah keuntungan untuk diri sendiri. Kita nyaris Harimau lapar yang selalu mengintai dari balik rimbun pohon kegelapan.

ORPHEUS bisa saja dengan mudah mengayunkan pedang besarnya. Untuk menyempurnakan kepuasan emosi terhadap kemenangan di depan mata. Tetapi dia tak ingin mengotori sebuah kemenangan sejati, hanya untuk membangun kepongahan yang sekedar sebentuk kemasan namun mampu membusukan isi.

Orpheus, legenda di sebuah mithologi itu, memang terlalu sulit untuk diteladani. Kemampuannya dalam memisahkan kebencian dari sebuah peluang untuk melampiaskan kobar kemarahan, sungguh menuntut kebesaran hati. Prilaku yang juga pernah ditunjukan Muhammad SAW. Dia mampu dengan mudah, mema’afkan derita penistaan dan penyiksaan puluhan tahun yang telah dilakukan komunitas Quraisy penentang Islam di Mekkah terhadap dirinya dan pengikutnya sekitar 14 abad silam.

Tetapi andai sikap balas melukai saja bahkan harus dihindarkan oleh mereka yang sebenarnya telah dilukai, mengapa justru banyak mereka yang tak merasa dilukai, tega untuk melukai?

“Sebenarnya mustahil seseorang yang baik, mampu merampok atau melukai orang lain, tanpa dalam saat yang sama, juga telah merasa merampok dan melukai nuraninya sendiri secara kejam”.

Apakah orang baik yang dimaksudkan kalimat itu termasuk kita-kita ini?***





Dialog Dengan Musuh

WATAK dan keyakinan, dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan………

Debu bergerak resah di sepanjang jalan kecil dekat St David Street. Koridor lurus dari sebuah kawasan baru di Edinburgh lebih 200 tahun silam. Serpihan sisa-sisa cahaya sore, merayap murung, di antara celah rerumputan yang meranggas kering. Udara mencekik gerah. Tapi tak membuat David Hume yang berada di penghujung kematiannya kehilangan semangat untuk mendiskusikan tentang Tuhan dan pen-zat-an mental yang tak pernah dipercayainya.

Satu dari tiga filosof empirisis besar di samping Locke dan Berkeley ini, dengan gigih menyanggah argumentasi pemikir ulung James Bosswell yang hari itu khusus datang, hanya untuk mencoba menafikan keyakinan “sesatnya”. Tapi Boswell akhirnya cuma terpana gagu, saat Hume melontarkan pertanyaan sangat kritis: “Jika jiwa dianggap sebagai zat mental, dari kesan apa gagasan tentang jiwa diperoleh?”.

Hume sudah bagai karang terjal yang mustahil goyah diterjang gelombang. Pencarian butir-butir bibit dari serabut akar sumber kekayaan ilmunya sejak remaja, menjulangkan menara keyakinannya yang menembus batas lapisan langit subtansi pemikiran spiritual manusia biasa. Hume mabuk tenggelam di bejana taman surgawi keyakinanya. Di mata awam sebagian kita, Filsuf Scottish ini, bisa saja dinilai terlalu gemar memperkasakan Sang Musuh di dalam dirinya. Membiarkan kekuatan itu menelikung dan berdamai dengan seluruh kehendaknya.

SETIAP orang pada dasarnya, memiliki seorang musuh abadi di dalam diri sendiri. Perwujudan dari nafsu atau kehendak bebas yang menjadi kembaran sekaligus bayangan yang tak pernah lepas dari hidupnya. Di mata mereka yang arif, yang gemar berenang di samudera madu kekayaan hikmah kebajikan dan kebijakan luas dari dalamnya lautan pemikiran, Sang Musuh selalu tampak jelas dalam setiap dia ingin memilah dan memilih sebuah jalan yang memisahkan antara kebajikan dan keburukan. Sang Musuh yang kaya dengan bujukan dan godaan, sering tampil dengan kilap meyakinkan, ketimbang hati nurani, entitas spiritual yang cendrung muncul lusuh dan bersuara rendah, sehingga kerap lebih gampang terketepikan.

David Hume mungkin Machiavelli, atau Marx dalam versi subordinasi persoalan yang berbeda, tetapi membangun teori-teori filsafat dari keyakinan yang sama, yang lahir oleh pemikiran-pemikiran yang jenial, tetapi menutup pintu terhadap sesuatu yang sudah tak tersangkalkan yang bernama kebenaran final, sehingga kaya dengan kontroversi. Ibnu Khaldun, yang kejeniusan pemikirannya disebut Arnold Toynbee berada di atas Plato, Aristoteles, Augustine dan sederet nama filosof terkemuka lainnya, seperti juga al-Kindi, Ibnu Taimiyah dan al-Ghazali, secara tegas berpendapat, bahwa filsafat khususnya metafisika, adalah mustahil jika digunakan unruk memahami sebuah kebenaran final. Tuhan tak terjangkau oleh ilmu itu, setinggi apapun capaiannya. Meski, seperti Hume, yang menara keyakinannya telah menembus batas lapisan langit subtansi pemikiran spiritual manusia biasa. “Yang mustahil bisa kita rubah lagi,” kata David Boswell dengan kecewa.

SETIAP manusia memang perlu mengenal Sang Musuh di dalam diri masing-masing. Peka terhadap karakteristik dan kecendrungan kehendaknya. Rajin mengajaknya berdialog tentang semua persoalan metafisis dan dunia. Dialog itu adalah rangkaian dari bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan yang kemudian akan melahirkan watak serta keyakinannya.

Kita gampang bertemu seribu orang pintar, tetapi demikian susahnya untuk mencari sepuluh orang baik yang bijak. Karena kepintaran hanya sebatas ilmu, sedang kebaikan atau kebijaksanaan merupakan watak. Sesuatu yang tidak wujud dalam sehari atau setahun. Tapi lewat usaha keras, dalam sebuah proses panjang yang bertahap dari kegemaran berdialog dengan Sang Musuh untuk memahami dan mampu mengendalikan kehendaknya.

Membiarkan Sang Musuh di dalam diri semakin perkasa, akan mengaburkan jalan kepada kebenaran final. Banyak mereka yang pandai. Bahkan jenius yang malah mungkin tanpa sadar, terseret kepada kebutaan abadi yang tak terobati terhadap determinasi realitas di luar tembok tebal keyakinan yang telah dibangunnya. Seperti Hume, Marx, mungkin juga Sartre.

WATAK dan keyakinan, memang dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan. Masalah kita semua tinggal, apakah jembatan itu akan membawa kita kepada cahaya yang sarat dengan taburan hikmah kebajikan, atau justru malah menghela kita ke padang sepi yang terasing jauh di perut kegelapan.****








Paradoks Berkah

TATKALA ruh kali pertama mengenakan busana raga, samudera dunia segera memperlihatkan bentang karunianya.

Adaptasi pendek puisi Jalaluddin Rumi ini, bertutur sangat dalam, tentang nikmat karunia Tuhan dan kedhoifan manusia.

Kehidupan adalah samudera pilihan. “Bagi mereka yang datang untuk tumbuh, seluruh dunia adalah taman,” kata Bawa Muhaiyaddin, sufi kelahiran Srilangka yang punya banyak pengikut di Philadelphia AS. Dua muridnya Michael Green dan Coleman Barks lewat buku Shalat Lima Waktu Para Sufi (The Five Times Prayers of The Shufis) kemudian meneruskan ajaran itu dengan menyebut bahwa untuk mereka yang mau terus bermimpi, seluruh dunia adalah panggung. Bagi mereka yang datang untuk belajar, seluruh dunia merupakan universitas. Bagi mereka yang datang untuk mengenal Tuhan, jagad dunia adalah Sajadah. Dan bagi mereka yang letih dengan berbagai kekotoran, Sang Makrokosmos yang luas ini merupakan air telaga.

Kehidupan memang samudera pilihan. Tuhan tinggal hanya memberikan akal kepada setiap hamba-Nya untuk mengenal partikel, tekstur dan warna hitam, putih serta kelabu dari kehidupan itu sendiri. Kita mungkin sulit menemukan mereka yang sejak lahirnya selalu enggan bersisian dengan dosa. Yang lebih umum, adalah proses jatuh bangun di parit kotor lalu berusaha kembali membersihkan diri.

Yang kemudian menjadi persoalan, tinggal sejauh mana totalitas pembersihan diri itu. Apakah khatarsis, eliminasi, modifikasi dan sublimasinya dalam mekanisme yang setengah hati, atau ia menjadi bagian proses yang tak lagi berbagi. Katharsis seorang manusia sebagai ends methaphisyicum --mengutip Aristoteles yang menyebut setiap mahluk kodratnya berfilsafat— harusnya berproses tanpa henti, sampai kematian menjemputnya.

Pada sisi lain, dalam tingkat derajat pemikiran tertentu, dari proses pembersihan diri tersebut, seseorang juga bisa tiba di dermaga femahaman total tentang sifat-sifat Tuhan yang tak pernah salah (Maha Tahu) dan tak pernah menyakiti (Maha Penyayang).

Maha di sini bermakna superlatif sekaligus metafisis. Logikanya, kata filsuf Avissena (Ibnu Rusjdi), kalau seorang penyayang saja mustahil akan menyakiti, maka secara deterministik (tidak bisa tidak), apalagi yang bersifat Maha Pengasih. Ini bukan tesa yang direduksi ke absurditas (reductio ad absurdum) yang gemar didalihkan filsafat Stoisisme pada era Hellenistik. Ia rasional, tidak abstrak dan berjarak. Hanya saja mengapa kemudian banyak manusia yang merasa telah berbuat kebaikan justru tetap menderita, sementara yang durjana dianggap kaya dengan limpahan karunia-Nya? Dalam bentuk apa sesungguhnya sifat Maha Tahu dan Maha Penyayang Tuhan itu harus dipersepsikan?

DI SINILAH sebenarnya kata berkah mewujud sebagai sebuah paradoksal. Bermakna ganda tetapi hakikatnya tetap tunggal arti. Berkah dengan demikian juga bisa indentik bencana. Dan kesenangan serta kemuliaan fisik milik seseorang yang berhati durjana yang dianggap dirinya maupun orang lainnya sebagai berkah keberuntungan, sesungguhnya adalah selimut bencana. Karena keberhasilan yang terus dituai dari prilaku salah dan dosa-dosa, merupakan jalan lapang kepada kerusakan jiwa milik mereka yang merugi. Mereka yang bisa tercampak ke golongan para Ahli Neraka.

Sedang bencana di mata manusia biasa yang harus ditanggung oleh mereka yang lurus, merupakan berkah yang memang tak tertangkap secara kasat mata. Karena jika berkah dalam bentuk kesenangan fisik harus diberikan Tuhan kepada mereka yang lurus pada suatu ketika, ia justru akan merusak si empunya diri. Hanya Dia dengan sifat Maha Tahu-Nya yang faham tentang rahasia momentum yang tepat untuk ini. Kemudian oleh sifat Maha Penyayang-Nya yang membuat Dia menentukan pilihan pemberian semacam itu. Kita manusia terlalu dhoif untuk bisa menyibak tabir wilayah kehendak-Nya. Selain itu berkah apa yang bisa kita sepakati sebagai sebuah keberuntungan, jika ia kemudian hanya melahirkan bencana?

Uraian yang berkehendak kepada lahirnya keihlasan kehambaan total manusia terhadap Tuhannya ini, adalah landasan utama dari proses khatarsis, pembersihan atau reduksi diri seorang manusia yang ingin berdamai dengan kemuliaan. Jalan lapang ke pensucian diri. Kinesis terhadap kita-kita yang telah lelah menanggung kekotoran jiwa.

BAGI mereka yang datang untuk tumbuh, kata Bawa Muhayaddin, dunia ini adalah taman. Dan bagi mereka letih dengan kekotoran, jagad dunia ini adalah telaga. Tinggal akal sehat kita yang menentukan, harus memilah ke alternatif mana. Tapi percayalah. Hanya kedekatan yang dilandasi keihlasan tak berhingga dengan Tuhan, yang mampu merubah sebuah kegalauan batin menjadi samudera ketenangan jiwa. ***








Sang Takdir

MANUSIA adalah sekedar para pencari bahan bukti dan saksi terhadap jalan nasibnya. Tuhan-lah Sang Penentu vonis untuk takdir yang abadi. Tuhan tidak akan memvonis Hamba-Nya menjadi hina, atau yang tak tertolong, jika barang bukti dan saksi Si Hamba menunjukan bahwa dia kaya dengan kebersihan hati yang mengharmonikan hubungannya dengan sesama. Kaya dengan kerja keras dan kesungguhan buat terus belajar memperbaiki diri, yang akan merajut celah kekurangan peringkat derajat hidupnya.

Keseharian seorang Hamba, dengan demikian, merupakan proses penabungan nilai diri. Jika pilihan benda yang ditabung setiap hari itu adalah lembaran kebaikan dan amal-amal yang terpuji, maka deposit kekayaan diri tersebut, kerap mampu menjadi penyelamat pada saat-saat kritisnya di samudera kehidupan ini. Sebaliknya, jika yang ditabung itu cendrung hanya noktah-noktah rendah dari keserakahan dan nafsu serba materi, kesuksesan dirinya sekalipun bisa jatuh menjadi hampa makna. Bahkan tak jarang sarat dengan kegamangan dan kegelisahan jiwa.

Intinya, Tuhan memberikan peluang bagi manusia untuk merekonstruksi dan mengkonfigurasikan arah takdirnya sendiri. Karena bukankah Tuhan tidak pernah menista mahluk-Nya, tetapi Si Mahluk yang ---sadar atau tidak--- gemar menggali liang keterpurukan derajat kekehidupan dirinya?

“Kuharungi dengan takjub lautan kekayaan kehidupan ini. Tetapi aku tak mengerti, mengapa begitu banyak manusia dengan nafsu hewani begitu bersemangat mengais remah-remah kotor sampah duniawi,” tanya heran Abdul Faidh Tsauban Dzun Nun Al Mishri, lewat sebuah syairnya. Mishri adalah Sufi kelahiran Mesir yang dijuluki Wali Tersembunyi. Tokoh yang menurut peneliti Mistikus Islam Margaret Smith merupakan “pemilik wawasan luas tentang misteri-misteri Ilahi dan doktrin Kesatuan yang layak dipuji”.

Ibadah dalam konstelasi pengejawantahan kehambaan vertikal entitas manusia dengan Tuhan serta lintas horisontal hubungan antara sesama manusia, memang hal yang prinsipil. Tetapi ia menjadi hilang makna, tatkala tidak diawali oleh kebersihan hati. Itu yang mendorong seseorang terlihat tetap taat beribadah ---tetapi mengadopsi kalimat Al Mishri tadi---, dia juga tak masalah buat terus mengais remah-remah kotor sampah duniawi yang merusakan diri. Gemar menabung sampah basi yang tak berharga bagi kemuliaan derajat hati. Sebuah keterpakuan buta kepada doktrin psikologikal hedonisme, yang akan menyeretnya ke duri perangkap ekternalisasi. Ketidaksadaran untuk terus memamah sensasi fatamorgana sebagai realitas dari obyek-obyak nyata yang mempesona tapi memperdaya.

PEMBERSIHAN HATI, akhirnya menjadi awal dari usaha manusia untuk membangun kehidupan yang berkualitas. Karena hanya dengan hati dan jiwa yang semakin bersih, nilai ibadah lintas vertikal dan horisontal seorang hamba menjadi lebih bermakna. Bahkan ketulusan pengakuan seseorang terhadap kehambaan di depan Tuhannya, awalnya diukur dari kebersihan hatinya. Sebab seseorang tidak bisa mengaku dirinya ihlas beribadah dan menghamba, jika pada setarikan nafas yang sama, dia masih gemar melanggar perintah Sang Pencipta. Itu justru dusta yang menyiratkan penghianatan dalam nilai ketaatannya. Keihlasan semu yang telah melecehkan Sang Maha Segala..

Takdir, sebuah wilayah Tuhan yang mustahil tersentuh manusia. Immanuel Kant yang antara lain mengurai teori filsafatnya lewat buku Kritik Dari Pemikiran Sejati, memang meyakini manusia sebagai entitas yang otonom. Yang akan dan harus menentukan dirinya sendiri. Tetapi secara cerdas filsuf Denmark Soren Aabi Kierkegaard dengan buku Fragmen Fragmen Philosophi, membedah hipothesis itu melalui deskripsi kedhoifan manusia sebagai mahluk yang serba terbatas. Maknanya, dalam keterbatasan itulah justru Tuhan wujud dengan sifat serba Maha-Nya. Eksistensialitas manusia dengan segala prilaku lanjutannya, dengan demikian, tidaklah berdiri sendiri.

Tetapi itu juga bukan mutlak sebuah kendali. Sifat Maha Pengasih dan Penyayang Tuhan, masih memberikan peluang manusia untuk merekonstruksi dan mengkonfigurasikan sendiri pilihan arah Sang Takdirnya. Dan rekonstruksi itu, haruslah dalam wujud pilihan untuk selalu menciptakan saksi dan barang bukti terbaik yang membuat Tuhan akan menjatuhkan vonis yang juga terbaik bagi kebahagiaan dirinya di dua dunia.

KONKLUSINYA, manusia harus rajin menabung kebajikan, demi barang bukti dan saksi untuk arah vonis takdir indah dari Sang Maha Pengadil.

“Tetapi mengapa begitu banyak manusia yang justru dengan nafsu hewani, secara bersemangat mengais remah-remah kotor sampah duniawi?,” tanya heran Dzun Nun Al Mishri. Kita punya jawaban masing-masing untuk pertanyaan ini. ***








Cak Nur

KEARIFAN dan sikap cendekia, adalah produk dari sebuah proses panjang pengkayaan serta pembersihan hati. Dan orang arif yang cendekia, biasanya lebih suka berhotbah dan bermediasi dengan rangkaian prilaku kehidupannya, ketimbang dengan celoteh bibirnya.

Sekitar lima puluh tahun silam, kita pernah punya seorang pemimpin yang secara jernih, mampu merefleksikan kedua watak cemerlang itu kedalam prilaku kesehariannya. Sikap arif dan cendekia. Dialah Mohammad Hatta. Wakil Presiden yang rendah hati. Yang selalu meletakan jabatan dan kekuasaan terusung tinggi jauh di atas kepalanya. Bukan justru sebaliknya. Memaksa pangkat dan kedudukan, lebih menghamba kepada kepentingan diri dan kelompoknya.

Tatkala prinsip ini terguncang oleh prilaku kekuasaan Presiden Soekarno, tanpa masalah Hatta kemudian lebih memilih bersekutu dengan suara nuraninya. Melepas seluruh atribut kehormatan sebagai orang kedua yang telah dianugrahkan di pundaknya. Kebenaran menurut dia, tak boleh dilacurkan oleh nafsu untuk tetap berkuasa.

“Karena kebenaran adalah santapan lezat bagi sebuah kehidupan yang mulia. Hanya tindakan bodoh untuk mengubahnya menjadi racun, lantaran terbius ambisi terhadap nafsu yang rendah,” kata Abu Nashr As Sarraj yang menulis buku menarik tentang Risalah Yang Memberi Cahaya Kepada Sufisme (al Luma, fit –Thasawwuf).

Setelah itu, adalah awal dari masa panjang Republik ini kehilangan para pemimpin yang arif cendekia. “Padahal kita sedang membutuhkan lebih banyak manusia yang mampu memberi nilai tambah kualitas tinggi kepada bangsa dan negara yang muda ini,” kata mantan Perdana Menteri Termuda RI, Sutan Sjahrir lewat buku yang ditulis dengan kemampuan sastra yang kuat, “Renungan Indonesia di awal tahun 50-an dengan nama samaran Syahrizad.

Tapi menegakan kebenaran, di masa Soekarno, bisa menjadi penghinaan terhadap kekuasaan. “Karena Soekarno sudah menjadi perluasan dari kebenaran itu sendiri. Apa yang dikatakan Soekarno adalah kebenaran,” gerutu kesal Soe Hok Gie (saudara Arief Budiman), tokoh Angkatan 66, Si Jenius yang mati muda, melalui buku tebal Catatan Seorang Demonstran.

Penegakan kebenaran, adalah tongkat perjuangan yang harus diambil para Penghulu Suhada kemanusiaan. Dan ketika Republik ini sudah terpuruk ke dalam apresiasi sinisme sebagai Republik Maling, Republik Para Bandit, di mana hukum hadir dengan naif dan compang-camping, maka dahaga kepada hadirnya sosok Penghulu Suhada Kemanusiaan, kepada pemimpin yang kharismatis oleh prilaku cendekia dan sikap ariefnya, terasa lebih mencekik leher keinginan bangsa ini. Sosok pemimpin yang arief cendekia, adalah kerinduan dalam narasi besar bangsa kita yang sedang menderita.

DR NURCHOLIS MADJID atau Cak Nur, mungkin tidak dalam kapasitas seorang Resi, untuk ukuran sebuah sikap arief dan cendekia. Tetapi menurut hemat saya, dia saat ini salah seorang tokoh calon pemimpin terbaik bangsa dan negara ini. Latar kuat kedalaman ilmu agamanya, tidak membuat Cak Nur akrab dengan serba fatwa dan sabda, serta pemikiran-pemikiran yang konservatif dogmatis. Sebaliknya, Cendekiawan yang jauh dari sikap arogan ini, juga tak pernah terjebak ke dalam prinsip pandangan politik yang berbau sekularistik nyeleneh.

Sekitar lima tahun silam, dari ulasannya tentang Agama dan Politik Dalam Islam hasil kajian Yayasan Paramadina yang saya baca, Cak Nur dengan argumentasi yang jernih menguraikan korelasi dan independensi hubungan antara agama (Islam) dengan politik. Intinya adalah kemampuan akomadasi Islam yang tinggi terhadap modernitas, di tatanan konstelasi kehidupan yang egaliter dalam politik berbangsa dan bernegara.

Cak Nur yang sekarang berminat untuk menjadi calon presiden, tampil dengan konsep dan flatform yang jelas terhadap langkah-langkah perbaikan bangsa dan negara ini. Saya menangkap semangatnya untuk menyendikan motivasi semangat ibadah di dalam kehidupan berpolitik. Waktu memang masih akan menguji kekuatan moralnya ---jika Tuhan memang mengijinkannya berkuasa---, apakah dia tetap mampu meletakan jabatan dan kekuasaan selalu terusung tinggi jauh di atas kepalanya. Bukan justru sebaliknya. Memaksa pangkat dan kedudukan, lebih menghamba kepada kepentingan posisi diri dan kompromi politiknya. Semua itu masih serba tanda tanya.

Tapi satu hal yang tetap jelas, bahwa kearifan dan sikap cendekia, adalah produk dari sebuah proses panjang pengkayaan serta pembersihan hati. Dan orang arif yang cendekia, biasanya lebih suka berhotbah dengan rangkaian prilaku kehidupannya, ketimbang dengan celoteh bibirnya. Itulah modal berharga yang menonjol milik seorang Cak Nur, untuk berkuasa. Kekuatan langka yang tidak ditemukan pada karakter para tokoh pemimpin kita yang lainnya.***








Sang Busur

KALI ini musim dingin terasa lebih panjang bagi Charles Franklin Kettering. Di balik jaket tebalnya yang lusuh, dari kaca pintu yang kabur, anak muda ini termangu memperhatikan kabut salju yang mendekap seluruh Loudonville Ohio. Butir-butirnya yang putih, melayang jatuh dalam wujud tebaran gelombang bagai gerak kain gorden satin di balik jendela yang terbuka.

Franklin Kattering sadar, kehidupan panjang di luar sana, akan tetap kabur dan dingin, jika dia tak berjuang lebih ekstra keras dari sekarang. Dia akan tetap hidup di balik jaket lusuh itu. Merasa tak nyaman oleh kamar sempit dan dingin yang menusuk, jika tak segera membuat sebuah busur pendorong kehidupan yang benar. Dua puluh tahun kemudian, anak muda miskin ini mencengangkan dunia dengan 140 temuan penting di dunia fisika terapan.

Presiden dan GM General Motor Research Corporation, pendiri Institut Sloan Kettering untuk Riset Kanker dan Ketua Dewan Penemu Nasional AS yang meninggal tahun 1958 dalam usia 82 tahun di Dayton Ohio itu, bukan hanya mampu membuat hidupnya cemerlang, dia juga telah memberikan jasa besar terhadap kemajuan peradaban manusia.

“Saya melesat dari sebuah Busur yang dibangun dengan benar dan digunakan secara benar,” katanya suatu ketika.

JIKA kehidupan memang desing sebilah anak panah, maka destinasi dan jarak tempuhnya, menjadi bagian dari produk mekanisme yang diproses Sang Busur. Tuhan tak membuat bumi terang, tanpa matahari. Ada sebuah hukum kausalitas. Sebab dan akibat. Sebuah proses logika. Itu yang mendorong filsuf RW Emerson dengan lantang menyebut, manusia yang picik percaya kepada keberuntungan, sedang insan yang bijak lebih percaya kepada sebab dan akibat. Tuhan membuat Cecak yang melata mampu hidup dari memakan serangga yang terbang. Tetapi Tuhan tak melemparkan serangga itu langsung ke mulut Si Cecak. Ada hukum kausalitas, sekaligus realitas.

Rahasia Kerajaan Tuhan, kata Al Ghazali dalam sebuah kajian antropologi metafisika ke femahaman ilmu tasawuf, mustahil tersingkapkan oleh mereka yang bertuhankan hawa nafsu, bersesembahan para penguasa, berkiblatkan materi dan bersyari’atkan kecerobohan.

Karena itu, sebuah tali gendewa yang lemah, lengkung busur yang tak presisi, gerakan yang tak fokus, jelas juga akan mengirim anak panah ke sasaran yang salah. Tetapi kearifan dalam konsistensi dan intensitas pencapaian target cita-cita, ladang subur akal budi yang selalu mengalirkan air kesejukan hati, seperti dimiliki Charles Franklin Kettler, juga tidak dibangun dalam sehari. Gosokan rutin setiap harilah yang membuat kehidupan ini menjadi berkilat.

Konstruksi Sang Busur yang mengkonfigurasikan paduan tekad dan cita-cita, adalah jawaban ke arah mana nantinya anak panah kehidupan setiap orang akan ditujukan. Sayid Abdullah Al-Hadad, sufi kelahiran Yaman yang menulis buku tasawuf populer, Risalah al-Mu’awanah, menyebut makna penting setiap manusia untuk selalu memupuk dirinya agar hari demi hari berusaha menjadi manusia sukses yang berbudi. Rela menyandang beban pahit, mengais dengan susah payah, hanya buat mampu memberi makanan yang bernilai bagi jiwanya. Karena itulah yang akan menjadi modal awal sekaligus kendali dirinya untuk melangkah lurus di dua dunia yang berbeda.

SAYA, kata Charles Franklin Kettler, melesat dari sebuah Busur yang dibangun dengan benar dan digunakan secara benar. Setiap kita, juga punya masing-masing sebuah Busur kehidupan. Hanya bagaimana kita membuat dan menggunakan busur itu, akan membedakan ke arah mana anak panah kehidupan masing-masing akan tertuju.***










Ten Sing

NAMA Sir Edmund Hillary mungkin hanya akan tercatat sebagai manusia pertama yang hampir mencapai puncak Gunung Everest. Bukan sebagai manusia pertama yang benar-benar sukses mencapai bagian tertinggi gunung itu seperti tercatat dalam sejarah. Pemandu jalan pribuminya yang lugu dan dekil, Ten Sing, telah membantu menciptakan rekor cemerlang tersebut.

Sir Edmund Hillary sudah hampir mencapai puncak gunung Everest, ketika kakinya terpeleset dan tubuhnya siap melayang jatuh ke bawah. Saat itulah tanpa memperdulikan nyawa sendiri, Ten Sing dengan nekat merenggutkan tubuhnya ke tempat aman.

Sir Edmund selamat. Tapi apakah Ten Sing, Si Lugu yang telah membutikan dirinya punya komitmen moral demikian tinggi terhadap tugas dan kewajibannya, merasa menjadi Pahlawan? Atau setidaknya merasa telah berjasa kepada Sang Bangsawan? Tidak. “Pekerjaan saya, adalah untuk melindungi Anda. Dan itulah yang telah saya lakukan,” katanya tanpa intonasi suara, bahwa ada sesuatu yang istimewa. Bukan main.

Setiap kita punya sejarah kehidupan. Dan sejarah itu tak pernah miskin dengan detil dan rincian. Persoalannya tinggal apakah kita mau jujur menyimak dan merenungi setiap rincian dan detil itu. Mengakui, betapa di tingkungan deret data itu, di gelombang konturnya, di sudut konklusinya, terdapat sikap-sikap miring, bahkan mungkin penghianatan dan prilaku munafik.

“Kemabukan kepada perenungan diri, menjadi bagian tak terpisahkan dari kelahiran para sufi yang ingin terjun di lautan ilmu Rububbiyah (Ketuhanan),” kata R.A. Nicholson, Orientalis pengkaji kehidupan para ahli tasawuf yang terkenal. Dan jika ingin mengadopsi pendapat filsuf Islam Al Farabi yang sangat terinspirasi oleh Plotinus, perenungan, kontemplasi diri sebagai bagian dari pensucian jiwa, adalah jalan kepada pemurnian moral.

Ini persoalan substantif. Karena bukankah nilai seorang manusia, ditentukan oleh moralnya? Kemasan tak pernah mempengaruhi isi. Keliru jika kita terpaku hanya pada apa yang di kulit, tidak di Isi “Seperti juga keliru menilai kedewasaan hati seseorang dari uban di rambutnya,” tutur penulis Edward Bulwer Lytton.

Integritas moral, merupakan harta yang sangat mewah untuk sebuah jiwa yang kerdil. Tetapi jiwa besar juga tak harus berada di tubuh seorang intelektual. Atau di hati seorang ulama. Maupun di batin seseorang yang dari kemasannya merupakan manusia terhormat dan berkedudukan. Jiwa yang besar juga bisa bersemayam di diri manusia dekil dan sederhana semacam Ten Sing. Manusia yang mungkin tak berharga apa-apa di mata kita, tetapi berkilau di lautan kekayaan hati. Manusia yang sejarah kehidupannya, jelas sederhana, tetapi sebenarnya, bisa lebih indah dan bersih ketimbang sejarah kehidupan milik kebanyakan kita.

Ramai orang yang merasa telah berbuat hebat. Padahal untuk karyanya, dia memperoleh fasilitas negara atau kenyamanan yang jauh di atas rata-rata. Mereka yang ingin dinilai dirinya istimewa, padahal dia tidak menghamba kepada kedudukan dan tanggungjawabnya, justru sebaliknya diam-diam menjadikan posisinya sebagai hamba kemauannya.

Tidak sedikit manusia yang piawai saat bicara tentang kelebihan prestasinya, tetapi begitu tolol saat menilai kekurangan dirinya. “Hati yang kotor selalu cendrung hanya mengenang segelintir kebaikan yang telah dilakukan, tetapi alpa terhadap setumpuk kebusukan yang telah dikerjakan,” kata pepatah lama.

Seorang Ten Sing yang lugu dan dekil tidak begitu. Tindakan historikal yang penuh keberanian di mata kebanyakan orang, cuma sebatas manifestasi terhadap tanggungjawab di matanya. Ten Sing memang bukan penganut narsisme atau sejenis Beruang yang gemar bertepuk dada. Ten Sing adalah sebuah cermin sederhana untuk berkaca.

SETIAP kali menyimak detil dan rincian sejarah kehidupan sendiri, saya tak jarang merasa malu. Begitu banyak kebodohan, sikap tidak tahu diri, culas bahkan kemunafikan dan arogansi yang terselip di sana. Sesuatu yang membuat saya selalu bertanya, tidak tololkah jika diri ini kadang masih saja mampu untuk dengan pongah bertepuk dada?***

.








Buku Manusia

MANUSIA adalah sejilid buku. Mata Abul Qasim al-Junaid yang semula redup, mendadak melebar tegang, ketika dengan lembut dinasihati agar berhenti membaca kitab suci, di saat fisiknya sudah terlihat demikian lemah menjelang detik-detik akhir hayatnya.

“Siapakah yang lebih pantas daripada aku berbuat begini, di saat-saat sangat kritis di mana halaman buku hidupku akan ditutup?,” bisik Sang Sufi yang pakar fiqih dari mahzab Abu Tsaur ini, dengan suara hampir tak terdengar. Para sahabat di sekitarnya hanya saling pandang membisu.

Apa yang terbaik dilakukan seseorang, di saat-saat sangat kritis, di mana halaman buku kehidupannya akan ditutup usai? Dan pernahkah kita terpikir suatu ketika akan berada di titik kulminasi momentum sangat mendebarkan dan sekaligus teramat mengerikan seperti itu? Lalu apa yang nantinya mampu kita lakukan, selain ketakutan yang menggigilkan, karena akan pergi sendirian ke dalam samudera misteri kegelapan yang tak berbatas dan berpenghabisan?

Manusia adalah sejilid buku. Yang menyenangkan, kita tahu persis di mana lembar pertama dari buku itu di awali. Tapi yang selkaligus merisaukan, kita tidak pernah tahu di mana nanti halaman buku itu berakhir. Kematian jadinya, seolah belati tajam yang mengincar punggung kita dengan diam dari kegelapan.

“Manusia adalah pencipta kebahagiaan dan kesengsaraannya sendiri”, kata Charles Albert Poissant. Pakar pembangunan pribadi yang menulis buku menarik tentang Rahasia Keberhasilan 10 Jutawan Terkemuka Dunia ini, mengingatkan kembali bahwa seseorang harusnya tidak terlalu mempersoalkan apapun yang telah terjadi dengan dirinya, yang penting bagaimana caranya menyikapi apa yang telah terjadi itu. Bagaimana membuat isi halaman-halaman dari kehidupan terus semakin bernilai dan membaik. Sehingga pada saat ia berakhir secara mendadak pada halaman tertentu, maka lembar itu tetaplah lebih baik dari lembar sebelumnya. Bukan sebaliknya. Karena intinya, bukan saat kelahiran dan jalan kehidupan megah yang kita butuhkan, tetapi kematian indahlah yang lebih didambakan.

Saya sebelumnya juga pernah menulis bahwa setiap kita adalah sejilid buku. Sesuatu yang bukan hanya bisa kita baca sendiiri, tetapi juga bisa diam-diam disimak orang lain. Soeharto, Saddam Hussein, George W Bush, Hitler, Marcos atau bahkan Si Sahdul yang tak dikenal, masing-masing sejilid buku. Mereka bukanlah buku yang baik. Tapi itu tak penting. Yang mendasar, apakah kita ingin membiarkan diri kita menjadi buku yang sama? Yang akan dibaca setiap orang dengan banyak gelengan kepala?

Melihat kehidupan orang lain sebagai sejilid buku, memang lumayan bijak. Karena itu akan memberikan referensi dari sebuah kehidupan lain yang dapat kita pelajari. Dan harusnya, itu akan membuat buku kehidupan kita bisa ditulis menjadi lebih baik lagi. Sebab bukankah kodrat manusia cendrung selalu lebih cerdas dan arif ketika menilai orang lain, tetapi tidak saat menilai dirinya sendiri?

Begitu banyak buku di sekitar kita. Begitu banyak ragam atau mungkin tragedi yang berada di dalamnya. Sekaligus juga begitu banyak hal berharga yang bisa disimak dan direnungi.

Kita ingin halaman buku kita berisi tentang kebahagiaan diri kita. Soalnya menurut penulis Raplh Waldo Emerson, kebahagiaan adalah minyak wangi yang tidak bisa Anda tuangkan kepada orang lain, tanpa Anda sendiri terkena beberapa tetesnya. Kita juga ingin halaman itu memuat tentang dedikasi pengabdian kepada kehidupan orang lain. Sebab mereka yang mendatangkan sinar matahari ke dalam kehidupan orang lain, kata filsuf James M Barrie, tidak akan bisa menyembunyikan kecemerlangan sinar itu dari dirinya sendiri.

KITA tidak tahu, kapan buku kehidupan kita akan berakhir. Dan kita juga bukan Abul Qasim al-Junaid yang masih mampu terus membaca kitab suci menjelang tarikan nafas terakhirnya. Seseorang yang demikian sungguh-sungguh mempersiapkan saat-saat menggetarkan menjelang kematiannya, jauh sebelum momentum itu sendiri tiba. Sebelum buku kehidupannya ditutup.

Seseorang yang di saat terakhirnya membuat kita takjub, karena ketika diminta berhenti membaca kitab suci masih mampu mengatakan “Siapakah yang lebih pantas daripada aku berbuat begini, di saat-saat sangat kritis di mana halaman buku hidupku akan ditutup?” ***








Sombong

HASAN BASHRI mengangkat tangannya yang gemetar dengan wajah jijik. Telunjuknya mengarah kaku kepada dua manusia yang duduk di pinggir sungai berair deras di depannya. Tak ada yang lebih memualkannya dari sebuah kepongahan seseorang dalam mempraktekkan perbuatan dosa di depan umum.

Anak muda itu benar-benar jahanam. Apakah memang tak ada tempat lagi bagi rasa malu di dadanya dengan menggandeng seorang wanita setengah baya yang cantik itu, sementara sebotol minuman lengket di tangannya?

Sang Ulama hampir saja mengumbar kecaman, ketika mendadak lewat sebuah perahu berisi tujuh wanita dan anak-anak yang tiba-tiba oleng di sungai itu. Jerit ketakutan dan permintaan tolong, membuat anak muda itu dengan sigap meloncat ke dalam air. Dia selamatkan enam diantaranya serta berteriak meminta Hasan Bashri menyelamatkan seorang yang lainnya. Tapi Sang Ulama hanya bisa melongo takjub kebingungan tanpa melakukan apapun.

“Kepongahan telah membutakan matamu. Botol yang kupegang ini hanya berisi air putih dan wanita ini adalah Ibuku yang buta dan hampir setiap sore kutemani di sini untuk mendengarkan suara air. Karena beliau sangat menyukainya”.

Hasan Bashri tersentak dengan seluruh tubuh yang mendadak gemetar. Matanya berkaca-kaca karena beban rasa malu yang tak tertanggungkan batinnya. Dia kemudian meminta ma’af dan penyesalan dengan prilaku seperti seorang Pecundang yang kehilangan segala-galanya.

Peristiwa di sungai Dajlah itu tak pernah terpisahkan dari riwayat Abi Said Al Hasan bin Yasaar Al Bashri yang wafat sekitar 600 tahun silam di Basrah Irak. Sebuah pengalaman hidup sekaligus pengalaman batin yang kemudian menjadikannya salah seorang sufi masyhur karena kerendahan hati serta ajarannya yang dijadikan banyak ahli tasawwuf sebagai rujukan pemikiran yang cemerlang.

Kesombongan atau sikap pongah, memang sekutu kegelapan. Anak kandung kehancuran yang membuat sejarah peradaban manusia sarat dengan kisah-kisah bodoh yang memalukan. Hitler, Polpot, Alexander yang Agung, Ferdinand Marcos, bahkan Bush dan Saddam Hussain, adalah mereka yang tanpa merasa bersalah membangun benteng citra dirinya dengan kesombongan. Dan kita, dalam bentuk serta ukuran dan versi yang lain, setiap hari juga tak jarang mengenakan pakaian karakter semacam itu. Yang membuat kita sering terseok, terbentur, sekaligus terketepikan.

Yang mentakjubkan, kesombongan justru juga sering bersarang dibibir yang sebenarnya selalu basah oleh kerapnya menyebut nama Tuhan. Fakta yang memaksa Francois Marie Voltaire menulis sejumlah satir. Filsuf Perancis pejuang Aufklarung yang gigih ini, menyebut perasaan diri yang bersih, awal dari kesombongan. “Dan kesombongan, sesungguhnya bukti seseorang tidak menyayangi dirinya,” kata sufi kelahiran Maroko yang terkenal, Sayyid Ahmad Ar Rifa’i

Tapi jika memang sikap pongah bagian dari kekuatan destruktif terhadap moralitas yang akan melapukkan pondasi martabat dan dinding tempat dibangunnya kearifan, mengapa manusia tetap saja tak masalah untuk memeliharanya? Dalam psikologi metafisika yang membahas filsafat moral, sombong memang bersifat kodrati. Tetapi ia juga bukan susatu yang tak terfahamkan. Dengan demikian, berarti juga bukan sesuatu yang tak mungkin dikendalikan bahkan dihapuskan.

Persoalannya, adalah kepada keengganan untuk memahami diri sendiri. Padahal bukankah di mana keinginan untuk becermin hilang, sebenarnya di situ sikap cupat dan kesombongan akan bermula?

HASAN BASHRI memegang tangan pemuda yang mungkin seorang Malaikat itu dengan air mata berlinang. Dia memohon dengan bibir gemetar.

“Dengan kekuasaan Allah, tuan telah membantu enam orang itu sehingga selamat dari kematian. Sekarang selamatkanlah saya dari tenggelam lebih dalam di dasar sungai kebanggaan dan kesombongan yang menghancurkan ini”***








Keberanian Sejati

SUKSES tak pernah final. Dan kegagalan tak pernah fatal. Keberanianlah yang penting. Tetapi keberanian dalam wujud bagaimana yang mungkin dibangun seseorang untuk tetap tangguh, tatkala dirinya sendiri sudah terkapar di rawa keterpurukan yang terus menghisapnya semakin dalam?

Dalam degup suasana yang semarak, musik yang bising, wajah-wajah cantik dan bau alkohol yang menyatu dengan aroma parfum dari keringat yang bersimbah, bekunya rasa pahit dari kegagalan, juga bisa dicairkan. Ini pendapat setengah Eksekutif yang sedang kehilangan pegangan. Mungkin akibat karier yang remuk. Atau hidup yang berantakan.

Andai itu sebuah pilihan yang bisa disebut berani dalam memilih kompensasi, maka mereka mungkin telah menjadi para Pemberani yang membangun keberanian dari fondasi yang salah. Orang-orang yang sedang bersandiwara untuk menutupi ketakutan sejatinya terhadap kehidupan. Sebab secara jujur, bukankah dia percaya ada kehidupan lain setelah kematian? Dan bukankah -–seperti diajarkan agama manapun--- kepercayaan terhadap hal itu, sekaligus juga kepercayaan terhadap berlakunya dialektik aksiomatika teologisme menyangkut hukum dan perbuatan?

Ketakutan terhadap kehancuran hidup, terhadap kegagalan usaha, pada dasarnya masih ketakutan sebatas kemasan. Ketakutan yang tidak “substansial”. Ketakutan sejati, adalah ketika seseorang merasa ngeri terhadap ketidakberdayaan dirinya dalam mengusung hukum Tuhan.

“Oleh faktor kebendaan, kita memang sering berhadapan dengan mereka --yang sadar atau tidak – memungkiri realitas kehambaannya kepada Sang Pencipta,” kata failusuf penganut faham Neo-Platonisme Arab kelahiran Cardoba Spanyol, Ibnu Rusjd alias Averroes. Akibat hal itu, strategi dan kalkulasi hidup seseorang tidak dibuat dalam tatanan semangat serta manajemen seorang hamba. Tetapi absolutisme seorang pemilik diri.

Sementara pemungkiran itu, akan membuat keberanian yang bangkit didirinya untuk menantang kegagalan, keterpurukan atau ketidakberdayaan dalam kehidupan, akan muncul sebagai keberanian yang tidak substantif. Karena ketika dia kalah dalam pergulatan perlawanan tersebut, kompensasinya bisa ke wujud prilaku yang fatal. Seperti sengaja menyelam lebih dalam ke rawa yang menghisap dan mematikan.

Manusia mungkin perlu lebih dahulu mengenal keberanian sejati, kata lain dari kemauan sangat kuat dalam mematuhi kewajiban kehambaan-nya, sebelum dia yakin telah menjadi Si Pemberani dalam menghadapi setiap tantangan kehidupan. Keberaniannya harus bangkit dari sumber dan akar yang benar. Karena di mata Si Pemberani Sejati, sukses tak pernah final dan kegagalan juga tak pernah fatal. Sebab strategi dan kalkulasi kehidupannya bersumber dari manajemen seorang hamba. Kesadaran kepada kehambaan terhadap Sang Pencipta, dan kepatuhan dari tuntutan terhadap penghambaan itu, akan membuatnya tak mudah goyah saat diterpa masalah atau tumbang tatkala kehilangan pegangan.

PESAN sederhana yang klasik ini meyakinkan, bahwa Si Pemberani Sejati tak pernah kecut berdepan dengan resiko kehidupan sesulit apapun. Karena itu dia juga meyakini bahwa sukses tak pernah final dan kegagalan tak pernah fatal. Ada Maha Kekuatan tersendiri yang mengatur semua itu. Sehingga, kebodohan apa yang harus membuat seseorang untuk lebih menghancurkan dirinya, saat sadar manusia tak punya hak bahkan untuk menyentuh sebiji mur di mesin maha raksasa takdir yang diatur oleh Sang Penentunya?***






Yang Tegak di Ketinggian Dunia

ADA ambisi yang lebih luhur, dari sekadar tegak berdiri di ketinggian dunia. Cobalah membungkuk. Berusahalah untuk mengangkat mereka yang tak berdaya.

Henri Van Dyke, tidak merasa dalam posisi “yang tegak di ketinggian dunia”, ketika melansir petitih itu. Namun kacamata filosofis sang penulis ini secara jernih memahami kewajiban kodrati bagi setiap manusia yang berada sedikit lebih tinggi dari yang lainnya.

Tapi tunggu dulu. Kenikmatan apa sebenarnya yang bisa dikecap dari kegemaran untuk “mengangkat mereka yang tidak berdaya”? Untuk menolong kaum yang sedang terpuruk atau sengsara?

Pada sementara orang, ini bisa menjadi pertanyaan yang aneh. Tapi percayalah. Jawabannya justru bisa dijadikan barometer dari kualitas kemanusiaan yang ada di diri setiap orang. Karena kebijakan dan kekayaan budi, sebagai kilau mutiara kehidupan, bersumber dari keinginan untuk selalu memberi nilai tambah terhadap manusia lain yang sedang kesulitan atau tak berdaya.

Saya, kata Willem de Sitter ---astronom masyhur Belanda yang menemukan teori tentang jagad raya yang selalu berkembang seperti gelembung sabun yang terus membesar---, bukanlah orang berbudi dan bijak. Saya hanya orang biasa yang setiap hari selalu berusaha untuk menjadi orang baik, dengan berbuat baik kepada setiap orang. Tapi justru dari sana kita agaknya sepakat untuk menyebut Willem adalah manusia bijak yang beruntung. Karena bukankah menurut motivator ulung Henry David Thoreau, kebaikan merupakan satu-satunya investasi yang tak pernah gagal? Dan kita juga tak harus lupa, bahwa kitab suci mengingatkan, Tuhan suka meringankan beban seseorang yang juga gemar membantu meringankan beban saudaranya yang lain.

Kita sering menemukan mereka yang hidup berkecukupan, tapi justru terkesan selalu hidup serba kekurangan. Dia bagai Ayam lapar yang mengais dan mematuk partikel terkecil dari serpihan makanan, tak perduli apakah berada di balik lumpur kotor yang menjijikan. Kita tidak jarang menemukan orang-orang kaya dengan hati yang dingin membatu. Mereka yang tak berpaling, saat mendengar keluhan lapar dari orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang terus berjuang hanya untuk membesarkan dirinya. Mereka yang sadar atau tidak, sebatas hanya berambisi ingin tegak sendiri “di ketinggian dunia”.

Ketika Abu Yahya Malik Bin Dinar menanggalkan semua cita-cita untuk menjadi orang penting di pemerintahan Mua’wiyah Persia pada paruh abad ke-8, lelaki berotak cemerlang ini, sedang menemukan jalan lebih tepat untuk dirinya. Semua jabatan tinggi di dunia politik dan pemerintahan, secara halus ditolaknya. Malik memang sedang menuruni ketinggian dunia. “Saya tak mampu menanggung konsekwensi bebannya,” kata sufi besar salah seorang perawi hadis Nabi Muhammad SAW ini.

Banyak memang mereka yang rindu terhadap nikmat berada di posisi yang tinggi dan mulia. Tetapi sangat sedikit dari mereka yang faham terhadap nilai kehormatan sejati yang terkandung di dalamnya.***






Martir

BERNARD Caurtois terpaku bisu di depan kertas penuh catatan di mejanya. Tangannya yang letih, menggantung lemah di bahunya yang tipis. Jika harapan merupakan energi kehidupan, dan semangat adalah tolok ukur terhadap sebuah cermin sukses, Cartois telah kehilangan segalanya. Sebulan kemudian, penemu iodine (Yodium) yang termashur ini meninggal dalam kondisi papa. Orang-orang melecehkan temuan bernilainya.

Kebanggaan tertinggi di mata batin, yang selalu berkilau di rentang sejarah peradaban kemanusiaan, adalah kerelaan untuk menjadi martir bagi pembelaan kehidupan dan kehormatan umat manusia.Tapi seberapa banyak mereka yang menerawang jauh berpikir ke sana? Orang-orang yang risau, resah dan gelisah, jika menyaksikan terjadinya penistaan terhadap hak-hak azasi dan kehormatan kemanusiaan? Mereka yang kemudian rela menjadikan dirinya tumbal untuk melakukan perlawanan dalam berbagai bentuknya, terhadap hal itu. Seperti yang dilakukan Bernard Courtois yang rela memberikan seluruh hidupnya untuk menciptakan obat yang berharga bagi manusia. Atau kerelaan para Mujahid yang ingin menyabung nyawa demi rakyat Irak, rakyat dari negara peradaban Islam yang sedang berusaha dikuasai nafsu angkara.

Tekad semacam itu, mungkin sebuah kontroversi, akibat kerap tak sama dan biasnya landasan berpikir serta visi setiap orang untuk menilainya. Tapi satu hal yang sesungguhnya tak boleh dilupakan, adalah bahwa telah ada mereka yang bersedia mati untuk sebuah keyakinan yang mereka anggap benar. Orang-orang yang menurut sufi besar Maroko Sayid Ahmad a-Rifa’i, pendiri TharikRifa’iyah ah, tak termasuk “kelompok yang selalu berpaling sehingga sulit sampai di tujuan”. Mereka yang tak pernah merasa ditaklukan, karena –kata Napoleon Bonaperte—orang yang takut ditaklukan pasti kalah. Orang-orang yang penuh semangat. Sebab di mata penulis James Mark Badlwin, api tidak bisa dibuat dari bara mati. Sehingga antusiasme, juga tak bisa dibuat oleh orang-orang yang telah kehilangan semangat.

Antusiasme, semangat untuk rela berkorban secara total demi kepentingan umum yang dinilai sangat berharga, selalu mempesona kita. Pada tempatnyalah kita becermin ke sana, untuk sebuah introspeksi mengenai siapa kita. Kita, Si Pandai dan Si Baik yang sebenarnya sebatas hanya lebih piawai mengkritik, menyalahkan dan bergumam.

“Siapa itu yang menyelimuti sikap pengecutnya dengan mengecam para martir dengan menyebutnya sebagai orang-orang tolol yang mati sia-sia?”. Kita saling pandang oleh teriakan dari dalam gelap semacam itu. Kita tak tahu harus bicara apa.

Tapi mungkin bijak untuk kembali mulai mengamati, siapa saja di sekitar kita selama ini yang sebenarnya rela untuk menjadi Martir Kecil. Mereka yang tak masalah mengorbankan sebagian waktunya, sebagian hartanya, sebagian tenaganya, sebagian perhatiannya, demi kepentingan kemanusiaan yang lebih besar. Atau setidaknya, menjadi penolak peluang terbuka demi keuntungan pribadi karena sadar itu akan mengorbankan harga dirinya dan memperkosa hak-hak orang lain.

Kita mungkin memang tak harus sampai menjadi seseorang seperti Bernard Caourtois. Pria ringkih yang total berkorban untuk bisa menciptakan Yodium. Atau berprilaku seperti Curie bersaudara yang bertungkus-lumus terus menggoreng baja buat menemukan uranium. Atau sampai menjadi seorang Mujahid Indonesia yang rela mati, meninggalkan sanak saudara, untuk ikut membela rakyat Irak yang sedang sengsara.

Kita mungkin patut untuk mempertimbangkan kesediaan buat melawan arus kuat agar bisa menghargai mereka yang rela menjadi martir demi keyakinannya. Sebab pilhan itu, juga akan menjadikan kita sebagai martir di dunia keyakinan.

Berhentilah sebatas hanya menjadi Si Pandai dan Si Baik yang cuma piawai mengkritik, menyalahkan dan bergumam. Karena Si Pengecut, kata Alexsander Yang Agung, adalah mereka yang terus berbicara di balik tembok tebal yang aman.****








Zikir Dunia

PADA batas tertinggi pemahaman terhadap eksistensi Ilahiah, nalar akan berubah gamang kehilangan gravitasi dan distinasinya. Bahkan juga hampa ruang, durasi, bentuk dan wujudnya. Fatamorgana kecemerlangan berpikir di cakrawala metafisika, ikut terpuruk jatuh di sangkar keresahan jutaan tanda tanya yang mustahil terjawab dan teranalisa.

Oleh dahaga kerinduan kepada pencarian wujud Sang Pencipta, Abu Yazid al-Bisthami berenang jauh di samudra luas ilmu Ketuhanan yang tak henti menggetarkan garpu penala bening pikiran dan kalbunya. Dialah Sang Sufi yang hatinya tak pernah terusik oleh apa yang dilihat oleh matanya, dan tak pernah terganggu oleh apapun yang terdengar di telinganya. Namun Ulama besar Persia kelahiran Khurasan yang lebih 30 tahun bertualang di padang pasir Syria ini kemudian menyentakan kita, tatkala di penghujung pencarian panjangnya berkata, Tiada Tuhan selain Aku. Akulah Allah Sang Maha Pencipta.

Abu Yazid telah tenggelam dan sirna di dalam ke-Esa-an Ilahi. Al-wahidul ahad. Jangan mendebat dia. Karena di sini, nalar telah kehilangan gravitasi dan distinasinya. Kefasihan dialog metafisis telah tergiring dan terpasung di sangkar sampah tanda tanya yang tak bakal terjawab dan teranalisa logika biasa.

Kita berada pada maqam (tingkat pemahaman) dan latar tataran pengetahuan yang berbeda dengan Sang Sufi. Abu Yazid mungkin seperti ketika Will Durant mengartikan makna filsafat dalam buku terkenalnya The Story of Pholosophy. Atau seperti paparan teramat ruwet mengenai theorema dari Heraclitus, Si Failusuf dari Kegelapan yang menyengat kepala. Yang ingin dikemukakan di sini hanya tentang pilihan zikir yang telah diambil oleh seseorang yang bernama Abu Yazid.

Setiap manusia dalam kesehariannya, sadar atau tidak, memang selalu tenggelam dalam zikir yang panjang. Seperti daun, pepohonan, angin, gunung dan seluruh alam yang kodratnya senantiasa berzikir memuja keagungan Sang Pencipta. Hanya saja zikir setiap manusia berbeda. Ada yang tenggelam dalam wujud zikir yang mengawinkan tujuan Akhirat dan dunia, juga ada yang memilih salah satu di antara keduanya. Abu Yazid memilih zikir yang semata melisankan tauhid dan mengisyaratkan keabadian.

Sementara Zikir dunia, adalah ketika batin terkonfigurasi ke dalam bangun strategi yang lebih terarah kepada tujuan yang semata bersifat duniawi. Golongan Penzikir jenis ini, akan selalu bangun dan tidur dalam bayang pesona pelangi angan-angan dan ambisi. Bagi dia, harta dan kedudukan adalah wujud kehormatan yang menggetarkan hati. Sesuatu yang lebih lekat di bibir dan sanubari.

KITA adalah Para Penzikir yang kadang tidak sadar, setiap harinya sedang menzikirkan apa. Kita juga mungkin tak sadar, kegelisahan yang didorong ambisi duniawi, selalu merangsang sistem saraf otonom di dalam tubuh yang selanjutnya menggetarkan kelenjar adrenal dengan dampak kepada penegangan prilaku tersembunyi, yang mudah menafikan batas-batas moral dan dinding etika.

Setiap orang senantiasa berzikir dalam berbagai bentuk dan versinya. Tapi sebagian terbesar dari kita, cendrung hanya menzikirkan dunia. “Mereka yang mabuk sehingga tak berbelok, meski meniti jalan yang salah,” kata Abu Yazid.

Tapi bagaimana mungkin bisa berpaling jika kita memang tak pernah mau tahu bahwa ini jalan yang salah? Dalam situasi demikian, nalar dan logika memang sedang kehilangan gravitasi, durasi dan distinasinya. Kefasihan dialog metafisis setinggi apapun, akan tetap hilang gaung dan makna. Kita akan tetap menjadi orang-orang yang terpana. Mungkin seperti saat mendengar Abu Yazid memekik “Akulah Allah Sang Maha Pencipta” Kita gelap mata dan tidak tahu apa-apa. Kita sedang mabuk sehingga tak berbelok, meski meniti jalan yang salah. ***








Dialog Dengan Musuh

WATAK dan keyakinan, dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan………

Debu bergerak resah di sepanjang jalan kecil dekat St David Street. Koridor lurus dari sebuah kawasan baru di Edinburgh lebih 200 tahun silam. Serpihan sisa-sisa cahaya sore, merayap murung, di antara celah rerumputan yang meranggas kering. Udara mencekik gerah. Tapi tak membuat David Hume yang berada di penghujung kematiannya kehilangan semangat untuk mendiskusikan tentang Tuhan dan pen-zat-an mental yang tak pernah dipercayainya.

Satu dari tiga filosof empirisis besar di samping Locke dan Berkeley ini, dengan gigih menyanggah argumentasi pemikir ulung James Bosswell yang hari itu khusus datang, hanya untuk mencoba menafikan keyakinan “sesatnya”. Tapi Boswell akhirnya cuma terpana gagu, saat Hume melontarkan pertanyaan sangat kritis: “Jika jiwa dianggap sebagai zat mental, dari kesan apa gagasan tentang jiwa diperoleh?”.

Hume sudah bagai karang terjal yang mustahil goyah diterjang gelombang. Pencarian butir-butir bibit dari serabut akar sumber kekayaan ilmunya sejak remaja, menjulangkan menara keyakinannya yang menembus batas lapisan langit subtansi pemikiran spiritual manusia biasa. Hume mabuk tenggelam di bejana taman surgawi keyakinanya. Di mata awam sebagian kita, Filsuf Scottish ini, bisa saja dinilai terlalu gemar memperkasakan Sang Musuh di dalam dirinya. Membiarkan kekuatan itu menelikung dan berdamai dengan seluruh kehendaknya.

SETIAP orang pada dasarnya, memiliki seorang musuh abadi di dalam diri sendiri. Perwujudan dari nafsu atau kehendak bebas yang menjadi kembaran sekaligus bayangan yang tak pernah lepas dari hidupnya. Di mata mereka yang arif, yang gemar berenang di samudera madu kekayaan hikmah kebajikan dan kebijakan luas dari dalamnya lautan pemikiran, Sang Musuh selalu tampak jelas dalam setiap dia ingin memilah dan memilih sebuah jalan yang memisahkan antara kebajikan dan keburukan. Sang Musuh yang kaya dengan bujukan dan godaan, sering tampil dengan kilap meyakinkan, ketimbang hati nurani, entitas spiritual yang cendrung muncul lusuh dan bersuara rendah, sehingga kerap lebih gampang terketepikan.

David Hume mungkin Machiavelli, atau Marx dalam versi subordinasi persoalan yang berbeda, tetapi membangun teori-teori filsafat dari keyakinan yang sama, yang lahir oleh pemikiran-pemikiran yang jenial, tetapi menutup pintu terhadap sesuatu yang sudah tak tersangkalkan yang bernama kebenaran final, sehingga kaya dengan kontroversi. Ibnu Khaldun, yang kejeniusan pemikirannya disebut Arnold Toynbee berada di atas Plato, Aristoteles, Augustine dan sederet nama filosof terkemuka lainnya, seperti juga al-Kindi, Ibnu Taimiyah dan al-Ghazali, secara tegas berpendapat, bahwa filsafat khususnya metafisika, adalah mustahil jika digunakan unruk memahami sebuah kebenaran final. Tuhan tak terjangkau oleh ilmu itu, setinggi apapun capaiannya. Meski, seperti Hume, yang menara keyakinannya telah menembus batas lapisan langit subtansi pemikiran spiritual manusia biasa. “Yang mustahil bisa kita rubah lagi,” kata David Boswell dengan kecewa.

SETIAP manusia memang perlu mengenal Sang Musuh di dalam diri masing-masing. Peka terhadap karakteristik dan kecendrungan kehendaknya. Rajin mengajaknya berdialog tentang semua persoalan metafisis dan dunia. Dialog itu adalah rangkaian dari bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan yang kemudian akan melahirkan watak serta keyakinannya.

Kita gampang bertemu seribu orang pintar, tetapi demikian susahnya untuk mencari sepuluh orang baik yang bijak. Karena kepintaran hanya sebatas ilmu, sedang kebaikan atau kebijaksanaan merupakan watak. Sesuatu yang tidak wujud dalam sehari atau setahun. Tapi lewat usaha keras, dalam sebuah proses panjang yang bertahap dari kegemaran berdialog dengan Sang Musuh untuk memahami dan mampu mengendalikan kehendaknya.

Membiarkan Sang Musuh di dalam diri semakin perkasa, akan mengaburkan jalan kepada kebenaran final. Banyak mereka yang pandai. Bahkan jenius yang malah mungkin tanpa sadar, terseret kepada kebutaan abadi yang tak terobati terhadap determinasi realitas di luar tembok tebal keyakinan yang telah dibangunnya. Seperti Hume, Marx, mungkin juga Sartre.

WATAK dan keyakinan, memang dibangun secara bertahap oleh rangkaian bagian-bagian kecil dari sebuah jembatan kebiasaan. Masalah kita semua tinggal, apakah jembatan itu akan membawa kita kepada cahaya yang sarat dengan taburan hikmah kebajikan, atau justru malah menghela kita ke padang sepi yang terasing jauh di perut kegelapan.****





Si Penggali Makam

MAKAM itu telah sepi. Kesedihan menyayat dari sebuah luka kehilangan yang dalam, telah terbawa pergi, bersama iringan orang-orang yang kembali pulang. Awan tebal di langit, berkumpul dalam sebuah konfigurasi muram yang semakin kelabu dan menghitam.

Si Penggali Makam yang baru itu, terpaku di depan tanah merah di ujung kakinya. “Jika aku pergi, Si Penghuni Kubur akan sendirian di bawah sana. Seperti kudengar lengking tangis ketakutannya kepada kegelapan abadi karena dosa-dosa yang telah dibuatnya di dunia,” gumam Si Anak Muda dengan bibir gemetar. Gemuruh guntur di Cakrawala menggetarkan tanah yang dipijaknya. Sekaligus juga jantung dan seluruh persendiannya.

Kegamangan kehidupan yang tak berkesudahan, adalah jalan buruk kepada kematian. Tak semua orang menyadari, kehidupannya kini sedang bergulir ke mana, dan akan berproses akhir bagaimana. Itu yang membuatnya pangling atau bahkan tak perduli terhadap hal-hal terbaik yang seharusnya menjadi pilihan utama kehidupan dia di dunia.

Sementara orang Catalan di Sepanyol, menyebut kehidupan sebagai pesta pendek untuk sebuah kematian yang panjang. Ini sebuah pemahaman spiritual mengenai tanggungjawab eksistensi manusia di alam fana. Ajakan untuk mereguk kesenangan yang tetap dikendalikan oleh kesadaran terhadap tanggungjawab setelah kematian.

Manusi cendrung lebih menyadari kecepatan perjalanan waktu, namun tidak dalam perspektif discours (penalaran) terhadap keping-keping kemuliaan yang terselip, di celah-celah pergerakan waktu itu sendiri. Sehingga tak aneh, jika banyak orang yang mampu menjadi lebih kaya dan berkuasa, tetapi tidak sekaligus juga menjadi lebih arif, bijak dan mulia.

Friedrich Nietzhe membuat teori dyonisian spirit –lawan dari apollonian spirit—tentang hal ini. Mengenai dorongan irasional dalam diri manusia untuk lebih memuliakan kesenangan hidup dan kekuasaan. Orang-orang biasanya memang akan terhela ke dalam pola pemikiran ini, karena rabun terhadap dialektika hukum kebenaran sejati. Bahwa dunia sebatas terminal tempat berhenti, untuk sebuah tujuan yang abadi.

Teori filsafat creatio ex nihili (tercipta dari yang tak ada) Aurelius Augustinus dan konsep dalil ikhtira (alam itu diciptakan) dari Ibnu Rusydi (Averros), bisa secara cerdas dan dalam membedah makna dari tesa argumentasi ini.

Orang-orang akan memahami tentang hukum Tuhan sekaligus eksistensi-Nya, melalui proses rasionalitas.Tidak hanya sebatas dari menelan ajaran-ajaran tentang dotrin kepercayaan yang bersifat dogmatis baku. Seperti prinsip iman harus mendahului akal.

Merupakan semacam hukum tak tertulis, bahwa kebanyakan manusia lebih menjadikan kehidupan sebagai sumber referensi untuk menghadapi kematian, tidak sebaliknya. Padahal menjalani kehidupan dengan berpikir sebagai orang yang pernah mati, akan membuat manusia jauh lebih mampu memiliki kendali yang kuat untuk tak gampang lemah, berdepan dengan berbagai godaan yang menyesatkan.

SEMUA keconcangan dan kegalauan dalam kehidupan manusia, diawali oleh krisis spiritual. Ini sintesa Al Ghazali yang melahirkan pendapat dari pentingnya pensucian jiwa (takziyatun nafs), melalui bedah cemerlang tentang jalan kepada kehidupan sufistik dalam kitab tebal Ihya Ulumuddin.

Kekosongan spiritual adalah bencana bagi kehidupan. Kita percaya terhadap keberadaan kehidupan lain setelah kematian. Tetapi kita sepertinya sulit untuk dibuat percaya, bahwa kita bisa terseret ke sana tanpa terduga. Karena itu demikian banyaknya manusia yang meninggal secara nestapa. Tanpa bekal untuk sebuah perjalanan abadi yang demikian sulit dan panjangnya.

Itu semua menjadi bagian dari kepedihan dan ketakutan Si Penggali Makam yang berdiri tegak lurus dengan langit, di depan tanah merah di ujung mata kakinya.

“Jika aku pergi, Si Penghuni Makam akan sendirian di bawah sana. Seperti kudengar lengking pekik tangis ketakutannya kepada kegelapan abadi akibat dosa-dosa yang telah dibuatnya di dunia”

Gemuruh guntur di Cakrawala menggetarkan tanah yang dipijaknya. Sekaligus juga jantung dan seluruh persendiannya Sebentar lagi, hujan akan turun dengan lebatnya.***










Mengukur Nurani

TATKALA lintas lengkung pelangi petang di latar lagit biru, jatuh membayang di wajah air bening pada sebuah telaga di hutan sepi. Tatkala pohon-pohon Cemara yang tegak tinggi di sisinya, burung-burung Bangau yang melintas lewat pulang ke sarang, menjadi bagian dari landskap alam yang memukau itu, Sang Murid masih tak melihat semuanya sebagai wujud keindahan sejati yang sedang dicarinya.

“Karena keindahan sejati hanya bisa disaksikan lewat mata hati dan nuranimu,” bisik Sang Guru yang memahami kegalauannya.

Manusia sering hanya menggunakan standar rasionalitas dan nalar empiristiknya yang tak berbasik kepada mata batin, dalam mencerna dan memahami banyak hal yang berharga di dunia ini. Itu yang membuat analisis dan formulasi hasilnya, juga cendrung sebatas serba materi. Proses yang secara perlahan, akan menumpulkan kepekaan batin dan nurani di dalam diri. Sebab semuanya memang selalu berhenti sebatas sempit di kulit, tak pernah merasuk jauh dalam ke intisari.

Betapa sering kita hanya tersentuh menyaksikan pedih derita orang lain, namun jarang secara nyata untuk membantunya. Kita lebih sigap untuk mengeluarkan sapu tangan menghapus air mata, ketimbang memilih membuka dompet untuk membagi isinya. Betapa sering kita dengar wejangan arif, hotbah berharga yang hanya berhenti sebatas di telinga, tetapi tak sampai menyentuh kalbu sehingga tergugah untuk mengikutinya. Betapa sering ajakan bertakwa kepda Tuhan menerpa gendang telinga, menyerusup jauh di liku labirin pendengar kita, namun semuanya hanya menjadi kalimat-kalimat basi yang tak punya makna apa-apa.

“Itulah standar ukuran kepekaan nurani dan bobot nilai kemanusiaan yang bersemayam di diri kita. Sebatas itulah kualitas substansi eksistensi diri kita yang sesungguhnya,” kata Sang Guru. “Manusia yang bernurani terpuji, adalah mereka yang antara lain, kebahagiaannya terletak dari ukuran kemampuannya dalam membahagiakan orang lain”.

Ukuran-ukuran kemanusiaan juga bisa disimak kepada besaran dari komitmen dan sikap nyata seseorang, terhadap setiap peristiwa kemanusiaan di bumi Tuhan ini. Standarnya tak cukup berhenti hanya setakat kepada hubungan vertikal antara dia dengan Sang Penciptanya, juga kepada sesamanya. Sejauh mana dia memiliki kepedulian terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain. Seberapa kuat komitmennya untuk menyenangkan orang lain, bukan untuk mengusik apalagi menyusahkannya.

Konfusianisme menguraikan hubungan antar manusia ke dalam pemahaman ‘Jen’ yang terpilah kepada ‘Shu’ dan ‘Chung’. ‘Shu’ mengingatkan agar Anda tidak melakukan sesuatu kepada orang lain yang tidak Anda sukai jika itu dilakukan terhadap diri Anda sendiri. Sedang ‘Chung’ adalah kesenangan untuk melakukan sesuatu kepada orang lain yang Anda sukai, jika itu juga dilakukan oleh orang lain kepada diri Anda.

Ini semua ajaran tentang kepekaan naluri kemanusiaan sejati. Sesuatu yang disebut pemikir dan failsuf Iqbal sebagai Isyiq atau cinta, nafas yang harusnya terus berdetak di nadi setiap pemikiran manusia, sebagai bentuk aktualisasi ekesistensi kodrati Insan dalam menyikapi sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Aristoteles menyiratkannya kedalam rumusan ‘distributif justice’ (keadilan distribusi). Sedang Emile Durkhiem melihatnya sebagai sesuatu yang harus dibangun ke dalam wujud ‘conscience collective’ (kesadaran bersama).

Seseorang, perlu sering bertanya, apakah nurani kemanusiaan di dalam dirinya telah dan terus semakin mengeras dan membeku. Mengapa batinnya selalu mudah dirayu keburukan, tetapi bebal terhadap ajakan ke jalan kebaikan? Mengapa kendali dirinya dalam menolak kebusukan demikian lemahnya, sementara untuk menerabas ke jalan salah selalu demikian kuatnya? Mengapa dia cendrung lebih suka memikirkan hanya kebahagiaan sendiri, ketimbang kebahagiaan bersama? Mengapa merasa diri sendiri telah demikian baiknya, padahal begitu culasnya?

“Karena mereka tak melihat semua persoalan melalui mata batin dan mata hati,” kata Sang Guru. “Seperti keindahan alam yang telah kau saksikan. Itu hanya sebagian kecil dari lapis keindahannya yang sejati. Kau hanya mampu mengagumi sebatas apa yang terlihat di kemasan, bukan dari keseluruhan isi. Sebab tanpa nurani yang peka, kehidupan ini seperti juga pemandangan itu, hanya akan tampak dalam satu sisi. Sisi materi dari hukum untung-rugi. Kebahagiaanmu dan ketidakbahagiaanmu akan ditentukan oleh apakah kau untung atau rugi secara materi. Bukan antara lain dari kemampuanmu menolong dan membahagiakan orang lain selaras perintah Tuhan yang akan membuat orang itu gembira kemudian berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraanmu. Kau sedang hidup dengan nurani yang tumpul, dan hati yang mati anakku. Kebahagiaan dan kesenangan hidupmu bersifat semu. Jika dia hilang, kau akan bisa sangat tergoncang dan terpuruk jauh sampai ke dasar. Cobalah kembali merenung dan mengukur nuranimu. Apakah ia memang terus mengeras dan semakin membeku?”.

TATKALA lintas lengkung pelangi petang di latar lagit biru, jatuh membayang di wajah air bening pada sebuah telaga di hutan sepi. Tatkala pohon-pohon Cemara yang tegak tinggi di sisinya, burung-burung Bangau yang melintas lewat pulang ke sarang, menjadi bagian dari landskap alam yang memukau itu, Sang Murid masih tak melihat semuanya sebagai wujud keindahan sejati yang sedang dicarinya.

“Karena keindahan sejati hanya bisa disaksikan lewat mata hati dan nurani,” petuah Sang Guru***





Manajemen Tuhan

APA yang dipikirkan seseorang yang rela memberikan semua air miliknya, pada saat dahaga yang dahsyat justru, sedang mencekik lehernya? Kebodohan apa yang sedang dirancang seseorang, tatkala menolak jabatan empuk, karena khawatir akan bergelimang lendir kolusi, korupsi dan berbagai penyimpangan? Sekedar romantisme tentang heroisme, iman atau pengagungan tulus terhadap sikap luhur dari idealisme?

Mungkin. Tetapi, tak banyak mereka yang berani meniti kehidupan karena landasan kepada keyakinan tentang kebenaran hukum Tuhan. Manusia cendrung lebih percaya kepada kalkulasi-kalkulasi normatif dan teoritis. Kepada realitas manajemen nalar akalnya sendiri. Seperti terjadi di dunia birokrasi masa Orde Baru, maupun sekarang ini.

Anda sulit bisa menjadi pejabat berposisi baik, jika tak piawai memainkan lobi dan menyenangkan atasan. Anda susah ingin melesat tinggi meski cakap bekerja, jika tak rajin mendekat dan merunduk serta tak punya potensi untuk menciptakan berbagai peluang buat memberi upeti.

Tetapi percayalah. Tetap saja ada pejabat yang berani menepis semua “persyaratan bandit” itu, ternyata masih bisa berkarier dengan baik. Tetap bisa terus menapak ke atas, meski berusaha diganjal dan digunting oleh mereka yang sirik. Mengapa? Karena dia tak sekedar percaya kepada manajemen dan teori manusia, terlebih lagi, sangat percaya dan yakin kepada kebenaran manajemen Tuhan.

Itulah yang terjadi dengan Ayub al-Skhtiyani. Dia berikan semua persediaan airnya yang tinggal sedikit, kepada sebuah keluarga muda yang sedang kehausan sama seperti dirinya, akibat tersesat di gurun sahara. Meski logika manusianya membisikan, dia sedang berjalan menuju kepada kematiannya. Karena saat itu lehernya dicekik dahaga yang sangat menyiksa.

Dia terjatuh di pasir yang panas dalam penderitaan menuju ke jalan maut. Tetapi hatinya tetap ihlas. Keluarga muda itu lebih layak hidup, ketimbang dirinya yang semakin renta. Tak ada hukum akal manusia yang mampu menjangkau, bagaimana mungkin di tengah terik sengatan matahari saat itu, mendadak kemudian hujan turun dengan lebat.

Akal manusia tak mampu memahaminya. Tetapi hukum Tuhan dari ‘Al Malakut’ (alam Kerajaan Langit) kuasa mewujudkannya. Dalam syair yang ditulisnya kemudian, al-Sakhtiyani menulis kisah itu dengan indah. “…tetesan air bening yang jatuh di pipiku, meresap jauh ke relung kalbu. Ia mencairkan segala kerak keraguan yang masih tersisa, terhadap sucinya kebenaran hukum Tuhan…”

SETIAP agama dan pemikiran filsafat yang mengajarkan kepada antropocentrisme, selalu meletakan kebajikan sebagai sentralitas kewajiban eksistensial manusia sebagai zoon politicon, atau mahluk sosial (Plato).

Cofusianisme –mengutip sosiolog Cina Dr Lei Te Oei--- menekankan tujuan ideal ajaran Konfusius juga kepada moralitas dan keberanian berjuang untuk kebajikan. Padahal ketika pergaulan manusia sangat didistorsi oleh semangat kebendaan, bagaimana mungkin kita bisa melawan arus untuk mendustai kenyataan? Namun kepercayaan kepada manajemen Tuhan yang dilandasi oleh keimanan atau semangat tauhid yang kuat, secara tegas menjawab ketakutan itu.

Pada saat Anda berani mempertahankan karyawan tanpa rasionalisasi, ketika perusahaan sendiri sedang dilanda krisis dan serba kekurangan, ketika Anda berani menyumbang Si Lemah justru di saat uang sudah sangat menipis di tangan, dan pada saat Anda berani melawan arus atas nama kebenaran sejati meski dengan konsekwensi harus berada di titik yang rawan, maka teori dan menajemen manusia jelas bukan jalan kepada keselamatan. Tetapi manajemen Tuhan membuka pilihan peluang kepada hasil tak terduga yang mencengangkan.

Persoalannya, apakah keimanan atau kekuatan tauhid setiap orang berada di tataran yang cukup untuk berani melawan hukum nalar teoritis manusia? Apakah kepercayaan untuk melimpahkan segalanya kepada Sang Maha Pengurus Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu, memang dilandasi oleh keyakinan dan keihlasan yang tanpa batas dan imbangan?

“…tak ada pesona kebeningan yang demikian mengagumkanku, kecuali sucinya kebenaran hukum Tuhan,” tulis al-Sakhtiyani.

Secara jernih, Sang Sufi telah berbicara tentang pesona kebenaran Manajemen Tuhan yang mentakjubkan***





Aktor

ANTOINE Henri Jomini menatap langit petang dengan matanya yang letih. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di batas kaki langit. Lalu ketika senja beringsut pergi, maka padang lapang yang membentang luas di depan, bakal lenyap ditelan kegelapan.

Proses alam itu, tiba-tiba menyentakan nalar borjuis muda Prancis berbakat cemerlang dalam ilmu perang ini. Jomini seperti menyadari, masa depan yang sebenarnya luas membentang di hadapan, bakal hilang tanpa makna, andai dia tetap pasrah dengan keadaannya saat ini.

Napoleon telah memperlakukannya dengan sangat tidak adil. Dia merasa, harusnya memperoleh pangkat dan kehormatan yang jauh lebih tinggi, dari sekedar yang diterimanya sekarang. “Kaisar yang bodoh itu harus mengakui telah melakukan kesalahan besar, karena memperlakukanku seperti ini,” gumanya kesal, ketika pulang dari Perang Spanyol.

Otak Henri Jomini cemerlang. Tetapi mengapa Napoleon merasa cukup hanya memberinya pangkat Generale de Brigade, tanpa posisi dan kehormatan strategis lainnya? “Karena dia aktor kehidupan yang sangat pintar dan berbakat dalam menyiasati setiap keadaan. Kita tak akan pernah menjadi baik oleh orang-orang yang piawai bersandiwara,” cetus Sang Kaisar kepada salah seorang jenderalnya.

Usai pertempuran di Mainz tahun 1806, Jomini menghilang dari pasukan Prancis. Namanya kemudian tercatat dalam sejarah Perang Eropa, sebagai salah seorang penyusun strategi pertempuran modern yang terkemuka. Seperti Clausewirz, Friedriech List, Alexander Hamilton, Schliefen atau Molitke. Cuma Antoine Henri Jomini bukan lagi warga negara Prancis, tetapi Rusia. Negeri lawan tempatnya mencari suaka.

AL QUR’AN memang menyebut dunia tak lebih dari panggung sandiwara. Namun adalah keliru jika manusia kemudian benar-benar merubah diri menjadi salah seorang aktornya. Karena hanya insan bermental tercela, yang mampu bersandiwara di panggung pergaulan kehidupannya. Kemunafikan seperti barang busuk di balik peti rapuh terkunci yang selalu saja gampang terbuka. Karena bukankah manusia bisa bersembunyi di balik mulutnya, tetapi selalu tidak mampu berlindung di balik prilakunya?

Namun sangat banyak mereka yang bahkan pandai, kaya dan punya posisi terhormat, merasa tak masalah untuk menjadi aktor di panggung kehidupannya. Mengutip salah satu dari tujuh dasar jalan ke tasawuf yang diajarkan Abu Thalib Al Makki, sufi yang hidup di Baghdad Irak sekitar 1010 tahun silam, orang-orang itu termasuk golongan mereka yang membutakan diri terhadap sisi buruk batinnya. Mereka yang hanya terpaku kepada hasil akhir dari sebuah kemenangan kehidupan lahir, bukan bagaimana sekaligus juga menciptakan gemerlap sebuah kemenangan batin. Mereka yang buta, bahwa permata tak pernah mendustakan kilaunya.

Mereka seperti tak sadar, bahwa manusia akan selalu terpilah dan tertempatkan oleh orang lain, pada posisi dan derajat yang setara dengan moralitas hidupnya. Hanya orang-orang bodoh yang mau secara tulus menghormati mereka yang piawai menyikapi kehidupan setara dengan arti sebuah tayangan sandiwara.

Aktor-aktor kehidupan ada di dunia pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, di dunia kepemudaan, olah raga, seni bahkan agama. Mereka yang tak berkedip menggadaikan dirinya untuk sebuah jalan mudah mendaki ke atas. Kelompok yang tak punya sedikit rasa malu, untuk segera berbalik tadah dari seorang kawan menjadi lawan. Para hipokrisi yang gemar menyanjung di depan, mencibir ke belakang. Mereka yang tak segan menjilat ke atas, namun juga secara gampang meludah ke bawah. Orang-orang yang menyimpan taring berdarah di balik senyum menawan. Para bajingan berwajah ulama. Mereka yang tak segan untuk malah menginjak kepala orang-orang yang sebenarnya sedang menjerit meminta pertolongan.

“Jomini perwira yang brilian. Tetapi saya tak suka manusia yang membangun citra diri dan wibawa lewat sandiwara,” kata Napoleon.

KECEMERLANGAN kehidupan tak teraih oleh kepintaran yang cuma tegak lugu di pedati kejujuran dalam menyiasati keadaan, gumam Jomini tatkala pulang dari medan Perang Spanyol.

Benar. Manusia memang punya banyak pilihan dalam mengeluti kehidupan. Tetapi tetaplah keliru jika menilai dunia sebatas panggung sandiwara. Karena itu identik dengan membangun pentas untuk sebuah tontonan. Di mana kita sendiri dengan penuh semangat, tanpa sadar tampil pongah sebagai badutnya. Sementara orang-orang –dengan jijik, diam-diam--- menyimak dan mencibir di pinggiran.***



Iluminasi Aceh


GUNCANGAN gempa dan gemuruh suara gelombang yang menderu dari kejauhan, menyadarkan Mak Intan kepada wujud datangnya bencana yang sangat dahsyat. Sekaligus sebuah kematian yang menggetarkan. Wanita renta 80 tahun ini segera sadar. Ajal hanya setapak di depan mata. Dia lafalkan Surah Yasin dari kitab suci, dengan suara meratap dan bibir gemetar. Pasrah sekaligus ketakutan. Gelombang yang sudah merenggutnya ke laut, secara ajaib kemudian mengembalikannya ke darat. Meletakan tubuh lapuk ringkih itu dengan selamat di dahan sebatang pohon. Tuhan selalu bertindak dengan misterius. Ungkapan klasik ini, mungkin tak sepenuhnya benar. Karena Tuhan juga berbuat atas dasar petunjuk dan alasan-Nya. Hanya kemauan dan kemampuan manusia untuk memahami semua itu, yang membuat tindakan-Nya dipersepsikan sarat misteri. Savoir por prevoir kata filsuf Prancis Auguste Comte. Manusia harus memiliki kearifan fenomenalistik. Mampu memahami gejala-gejala dan hubungan di antara gejala-gejala itu, agar tidak bingung dan gagap terhadap apa yang akan terjadi. Termasuk tindakan Tuhan. Meski ini tidak berarti, Tuhan dengan demikian dianggap memiliki kebolehjadian masa depan yang hipotetik seperti diyakini filsuf Luis de Molina, dengan teori scientia media (pengetahuan perantara)-nya. Manusia kita yakinkan, sejatinya mutlak tidak akan pernah bisa mendahului keinginan dan pengetahuan Tuhan.Mak Intan adalah segelintir dari ribuan warga desanya di desa Pulau Batu Aceh Utara yang selamat dari amukan badai Tsunami. Tuhan hari itu tidak memilih ribuan anak muda yang memiliki masa depan lebih panjang untuk tetap bertahan hidup, tetapi justru seorang nenek 80 tahun yang secara logika lebih dekat dengan kematian. Adil dan misteriuskah ini? Tidak. Seperti juga ketika Tuhan memberi umur panjang dan rangkaian kemenangan kehidupan kepada para bajingan, tetapi tidak kepada orang-orang yang baik hati. Ini sebuah iluminasi. Pencerahan. Penerangan hati dari pola manajemen Tuhan untuk membuat para hamba-Nya menjadari keluasan dimensitas subtansi kehendak-Nya. Karena itu, kasus Aceh hanya akan tetap menjadi sebuah garis datar, jika cuma mampu menimbulkan rasa iba dan solidaritas, tanpa menukik kepada proses pencerahan batin dan penguatan iman bagi mereka yang mengapresiasinya.Seorang sahabat saya yang sehat dan segar-bugar, suatu hari berpesan kepada pamannya yang sedang sakit keras dan dia nilai berada di ujung maut, untuk bersabar menunggu, sementara dia akan menghubungi saudara sepupunya di luar kota. Sebuah mobil kemudian menabrak sepeda motornya dan pamannya tetap hidup sehat sampai sekarang, sementara dia telah tiada sejak 19 tahun silam. “Salah satu fakta tentang arogansi manusia, adalah ketika mereka membuat program hidup yang hanya bersandar kepada nalar dunianya, tanpa disertai nalar Akhiratnya,” kata salah satu dari tujuh filsuf Muslim yang membuka pintu gerbang filsafat modern, al-Farabi. Orang-orang semacam itu, menurut sufi kelahiran kota Farab Turkestan ini, adalah mereka yang rawan dengan guncangan kehidupan dan dunia.Alam atau dunia ini, memang bukan Prime Datum (Datum pertama) yang terjadi dengan sendirinya tanpa tangan Sang Pencipta seperti diteorikan Aristoteles. Karena sesuatu, dalam ukuran semesta atau bahkan hanya sekecil elektron yang membentuk atom, diabstraksikan ke wujud pemikiran paradigmatik bagaimanapun, secara dialektis tak akan pernah lahir dan ada, tanpa yang mencipta. Ini dasar dari keyakinan terhadap eksistensi Tuhan yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri. “Sesuatu yang mutlak ada, wajib al-wujud,” kata sufi Ibn Sina.Masalahnya bagi kebanyakan manusia selaku Hamba, adalah ketidakjujuran terhadap kodratnya. Mereka percaya kepada Tuhan. Memahami kehendak-Nya. Bahkan belajar tentang janji kenikmatan dan ancaman hukuman-Nya seperti dalam konsep Mu’tazilah menyangkut al wa’du wal wai’du. Manusia percaya, bahwa Sang Penciptanya bisa melakukan apapun kepada dirinya secara tak tertebak. Namun ada yang mencengangkan. Mereka bukan hanya kemudian menyepelekan fakta itu, secara tak berkedip juga malah menggunakan nikmat yang telah diberikan Tuhannya, untuk senjata balik melawan, menghianati dan melecehkan Sang Penciptanya.Kasus Aceh adalah sebuah iluminasi nalar untuk menapak lebih jauh dimensitas kekayaan rahasia substansi kehendak-Nya. Ketika Nenek renta Mak Intan yang bermata kabur itu secara mentakjubkan lolos dari maut, sementara ribuan orang-orang muda yang jauh lebih kuat dan sehat di sekitarnya tak mampu bertahan, manusia untuk kesekiankalinya kembali diingatkan, bahwa kematian seperti bayangan tubuh diri sendiri yang sedemikian dekat dan tak pernah mau beranjak pergi. Sesuatu yang tak tertebak, karena ia menafikan segala faktor bilangan usia, kekuatan dan kesehatan, ruang dan waktu, serta berbagai kalkulasi logika awam manusia biasa. Sehingga diperlukan kesiapan amal ibadah yang cukup, untuk membuat hati menjadi lebih tentram buat bisa menerima realitasnya.Kasus Aceh, pada esensinya, hanya akan tetap menjadi sebuah garis datar, jika cuma sekedar berhenti di tararan sentimentalitas, rasa iba dan solidaritas masal, tanpa menukik kepada proses pencerahan batin dan penguatan iman bagi setiap mereka yang mengapresiasinya. Kita tak sekedar cukup hanya dengan membuka dompet seraya meneteskan air mata***



Jalan Bijak

TEMUKAN setiap jawaban dari semua pertanyaan yang kau ajukan ke padang ilmu. Andai kecewa di sana, berpalinglah ke medan hikmah. Tetapi saat masih juga gagal, larilah ke ruang imanmu. Dan ketika upayamu tak juga mempan, dirimu mungkin lebih patut bersimpuh di kaki setan!

Ada begitu banyak jalan untuk menuju kepada kebijakan dan kebajikan kehidupan, di mata Ahmad Sahal Atha Al Adami. Kecuali di kaki Iblis. Guru besar para sufi yang wafat tahun 921 di Baghdad ini, dengan ungkapan di atas, telah menawarkan jawaban yang bagus, terhadap pertanyaan di lingkar masalah ini. Sebab dia bukan cuma menghelanya ke dimensi akal dan rasionalitas, tetapi juga kepada paradigma teologis.

Sufi lain sebelum era Al Adami, Al Harist al-Muhasibi (856) melengkapi palung dalam pemikiran ke arah kebijakan kehidupan ini, lewat sebuah pendapat bahwa ‘manusia yang baik, adalah mereka yang tidak terpengaruh akhiratnya oleh dunianya. Dan tidak pula meninggalkan dunianya karena akhiratnya’.

Hidup yang bijak akhirnya memang bermakna kepada keseimbangan. Harmonisasi. Mengutip buku Dunia Spiritual Kaum Sufi tulisan Ian Richard Netton (Sufi Ritual: Parallel The Universe), esensinya adalah bagaimana kita melakukan harmonisasi antara dunia mikro dan makro.

Sesuatu yang hanya mampu dicapai lewat penguasaan ilmu yang berhikmah.Ilmu yang berhikmah, merupakan kunci berbagai rahasia kehidupan. Hanya dengan kekayaan ilmu semacam itu juga, seseorang akan lebih mampu untuk beragama sekaligus ber-Tuhan secara benar. Ilmu yang akan menjadi sumber air untuk dahaga hingga ke fase terdalam substratum spiritual. Yang memungkinkan seseorang –untuk sebuah misal mengutip Reynold A Nicholson lewat bukunya Mistik Dalam Islam---, mampu misalnya memahami beda antara Masjid biasa dengan sebuah Masjid Sejati. Masjid sejati adalah yang bersemayam di mahligai hati. Yang dibangun untuk tempat mengabdi kepada-Nya.

Di sanalah sebenarnya seorang hamba selalu bersujud dalam makna esensial di hadapan-Nya. Bukan di Masjid yang terbuat dari batu maupun kayu.Tetapi manakala ilmu yang didapat masih tak mampu menjawab haus kegelisahan spiritual seseorang, maka medan hikmah, merupakan lorong lain sebagai pilihan. Karena Hikmah demikian kaya dengan samudera makna dalam kalkulasi persilangan integral maupun differensial. Hanya saja, ia harus diramu oleh nalar yang mampu.

Persoalannya adalah mengapa pada tahap sudah tiba di tataran pemikiran setinggi ini, seseorang masih tak menemukan jalan kepada kebijakan dan kebajikan kehidupan? Pilihan akhirnya hanya penisbahan nalarnya ke persoalan iman. “Andai upayamu tak juga mempan, dirimu mungkin lebih patut bersimpuh di haribaan Setan,” kata Ahmad Al Adami.Pemahaman ilmu ke tingkat hikmah, harusnya membuat seseorang tiba kepada jalan kebajikan dan kebijakan yang tinggi.

Karena hanya ilmu yang berhikmah mampu membersihkan batin dari kerak kotor kemunafikan, keserakahan, rasa sombong, serta pengendalian nafsu yang akan mendorong kecintaan kepada sikap bijak dan hasrat kepada kebajikan. Yang akan menyeimbangkan kehidupan untuk dunia dan akhirat. Ilmu yang berhikmah juga yang menjadi tolok ukur kualitas kemanusiaan seseorang.

Ketika berkuasa, ketika sedang berada di atas, apakah Anda termasuk golongan yang tak masalah jika sedikit tersinggung kepada mereka yang lebih di bawah, dengan cepat menunjukan kekuasaan atau kelebihan Anda sebagai bentuk sebuah arogansi kelebihan diri?Jika sedang bermasalah dengan pihak lain, apakah Anda hanya akan berpikir bagaimana bisa menjadi pemenang sendirian, bukan justru bagaimana berbagi kemenangan dengan pihak lawan?

Apakah Anda termasuk orang-orang yang lebih suka menciptakan keberhasilan untuk orang lain, kemudian menuai keberhasilan dari prestasi itu, atau justru hanya terdorong untuk meraih keberhasilan sendirian dengan sekedar memanfaatkan orang lain?Andai punya kesempatan untuk mencuat secara tunggal dengan konsekwensi mengecilkan pihak lainnya, apakah di mata Anda itu masalah biasa?

Seberapa takut hati Anda untuk melakukan hal-hal yang membuat orang lain merasa sakit, terganggu, dirugikan atau tidak nyaman?Ilmu yang berhikmah akan secara tajam dan presisi menjawab semua pertanyaan-pertanyaan di atas. Dan ilmu yang berhikmah akan membersihkan keimanan serta membangun sikap sangat yakin kepada keadilan dan kebenaran janji-janji Tuhan. Yang akan membuat manusia menjadi kuat dan tabah berdepan dengan gelombang sakit serta cobaan.

TERLALU banyak masalah yang kerap dipertanyakan di samudera kehidupan ini. Tapi –saran Al Adami--- temukanlah jawaban dari setiap pertanyaan itu ke padang ilmu. Andai kecewa di sana, berpalinglah ke medan hikmah. Tetapi saat masih juga gagal, larilah ke ruang imanmu. Dan ketika upayamu tak juga mempan, dirimu mungkin lebih patut bersimpuh di kaki Setan. Karena Anda telah kehilangan Tuhan. Anda lebih layak mengabdi kepada Iblis maupun Setan. Mahluk yang tak pernah mau menunjukan jalan kepada kebajikan dan kebijakan kehidupan, kecuali kesesatan.***

Amarah Wakil Rakyat

BEGITU banyak orang dengan predikat pandai di sekitar kita. Tetapi kerap terkesan sempit, bahkan cupat sekaligus juga sombong tatkala menyikapi sejumlah persoalan. Sekitar 170 tahun silam, Arthur Schopemhauer mengemukakan salah satu penyebabnya. “Karena mereka menggunakan batas pandang bidangnya sendiri, sebagai batas dunia”.

Filsuf Jerman yang di tahun 1841 menerbitkan buku terkenal Landasan Moralitas (Basic of Morality) ini, kembali menekankan makna penting dari pola berpikir yang serba sisi, komprehensif lateral sebagai kunci kecerdasan, sekaligus kearifan seseorang. Manusia pandai, bukanlah seorang badut yang gemar ke panggung dengan kaca mata kuda. Karena kebodohan lahir dari dorongan egoisme untuk selalu mencerna semua persoalan secara miskin sisi. Malah hanya dari satu sisi.

17 Maret silam, media massa diramaikan oleh berita amuk emosi sejumlah wakil rakyat di Gedung DPR-RI saat membahas masalah kenaikan BBM. Ada beberapa kubu yang sudah saling bersitegang hingga nyaris ke batas lampu merah. Wilayah prilaku para preman.Kita mencoba berkepala dingin dengan memahami kasus memalukan itu dari hukum group mind (jiwa massa) sintesa psikolog terkenal Prancis Gustave Le Bon.

Di dalam psikologi, wujud prilaku itu juga disebut sebagai indentifikasi kelompok (Group Identification). Bagaimana mudahnya emosi individu-individu mencair dan menyatu ke dalam gejolak emosi massa yang menerabas batas-batas etika atau kepatutan. Tetapi penyikapan ini, dianggap bukan pilihan yang arief, ketika disadari bahwa yang terlibat di dalam keributan adalah para Wakil Rakyat yang terhormat di sebuah Sidang Paripurna yang juga terhormat, serta disiarkan langsung di depan hidung rakyat.

Ada predikat sekaligus konsekwensi tentang tututan kualitas yang lebih terhadap pribadi masing-masing mereka. Dengan demikian, semua apologi mereka ditolak. Kericuhan yang hampir menjelma menjadi tawuran masal itu, tetaplah harus dikecam dan disalahkan.

“Pengekangan diri, adalah takaran sedang dalam hal-hal yang baik, dan mutlak berpantang terhadap hal-hal yang buruk,” kata penulis Amerika Frances E Willard. Pengekangan diri, kemampuan mengendalikan emosi, kata orang-orang tua dahulu, merupakan cermin tentang takaran kecerdasan dan keimanan seseorang.

Bahkan ukuran keimanan, rasa malu dan integritas diri juga dipadankan dengan kemampuan seseorang dalam mengendalikan amarah. Itu yang membuat sementara sufi menyebut semakin sulit seseorang dibuat marah, semakin dekat dirinya dengan Allah.

Ledakan kemarahan kerap dimulai oleh sebuah keputusan gegabah kemudian biasanya diakhiri dengan sebuah penyesalan. Dan dimana kendali emosi terputus, di sana kebodohan dimulai. Saya adalah sebuah contoh yang buruk dalam masalah pengekangan emosi. Refleksi dari susahnya untuk menjadi tidak bodoh. Entah berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk memahami akar persoalan ini. Tetapi agaknya jauh dari berhasil.Dengan pahit, saya terpaksa hanya memaksakan pengambilan jalan pintas lewat penegakan prinsip klasik bahwa “Apakah ketika sedang berada di jalanan atau di saat kesal sendirian, maupun hanyut di dalam pertengkaran, jika anda melihat warna merah, berhenti!”.

Amarah memang persoalan manusiawi. Pelepasannya juga sering dianggap sebagai konpensasi terhadap beban berat yang sedang menyesakan hati. Tetapi kita hidup di tengah peradaban dan masyarakat, di mana orang-orang merasa berhak untuk mudah menjadi marah, namun menuntut orang lain tidak bersikap demikian.

Namun bagaimanapun, siaran langsung tentang keributan para Wakil Rakyat tempo hari, telah mengajarkan kepada setiap kita, kepada setiap kelompok orang, untuk selalu antisipatif dan bertindak lebih arif dalam menyikapi berbagai persoalan. Khususnya juga dalam berdemokrasi.

Kasus ini membuat kita harus lebih memahami betapa tinggi nilai dari sebuah kerendahan hati. Betapa penting toleransi, sikap mema’afkan bahkan sebelum diminta. Sebab ---mengutip penulis dan filsuf William Arthur Ward---, pemberian maaf adalah kunci yang membuka pintu kekesalan dan borgol kebencian. Ia merupakan kekuatan yang memutus rantai kegetiran dan kungkungan sikap mementingkan diri sendiri. Sementara mereka yang tidak bisa memaafkan orang lain, sebenarnya telah menghancurkan jembatan yang harus dilaluinya sendiri.

Dan di atas dari semua pemikiran serta pilihan-pilihan sikap ini, landasannya adalah karena sesungguhnya kebaikan, sikap toleran, murah hati, adalah satu-satunya investasi kehidupan yang tidak pernah gagal.

SETIAP orang kata Arthur Schopenhaeur, menggunakan batas pandang bidang dan nalarnya sendiri, sebagai batas dunia. Dari sini, kita mungkin menjadi lebih faham, mengapa begitu banyak orang di sekitar kita yang merasa dirinya pandai, kadang terhormat, namun anehnya, dia juga cupat, lekas marah dan terkesan arogan dalam menyikapi berbagai persoalan.***

Jakarta 27 Maret 2005


Siapa Diri Saya?

MANUSIA kadang boleh saja kalah dengan sesuatu yang berada di luar dirinya. Tetapi jangan pernah sekalipun kalah untuk hal sumbang yang mengotori batinnya. Karena peningkatan kualitas diri, sangat bergantung kepada seberapa tangguh kekuatan hati. “Peningkatan diri kita ditentukan oleh kemenangan atas diri sendiri. Harus ada pertarungan keras di antara keduanya, yang akhirnya menjadikan kita sebagai pemenang”, kata sejarahwan inggris Edward Gibbon (1737-1794).

Kehidupan adalah sebuah proses perubahan. Tanpa perubahan, kehidupan identik dengan kematian. Perubahan dalam konstelasi pengertian ini, merupakan hal yang substansial, sekaligus juga manusiawi dan universal. Umat manusia mampu bertahan hidup serta terus maju sejak era paleonitikum, zaman batu hingga di era digital ini, karena apresiasi dan akseptabelitasnya yang tinggi terhadap perubahan.Namun ketika kajian ini menukik ke diri sendiri, seberapa jauh ia terfahami?

Kenalilah dirimu, pesan sebuah prasasti di Kuil Delphi. Siapa dan bagaimana sebenarnya diri saya?, tanya lain Lewis Carroll, ahli matematika dan pengarang Inggris yang meninggal 105 tahun silam. Filsuf Prancis Blaise Pascal (1623-1662) punya pesan senada ketika mengatakan “setiap orang harus mengenali dirinya sendiri, karena itulah aturan kehidupan”.

Tetapi, seberapa banyak sebenarnya orang-orang yang benar-benar ihlas dan mau secara sungguh-sungguh untuk menyelam ke dalam telaga diri sendiri? Seberapa banyak orang-orang yang seperti itu yang mampu untuk melihat serta mengenali apa yang mengendap di lubuk batinnya?Dan ketika muncul kesadaran terhadap betapa banyak masih kerak, noktah dan karat kekurangan serta kebusukan mengendap di sana, apakah itu akan dia jadikan momentum untuk dilakukannya proses pembersihan hati menuju kepada sebuah perubahan diri?

Dalam Islam, ia bagian dari jalan menuju tasawwuf yang disebut takziatun nafs. Pensucian jiwa.Tetapi tuntutannya tentu tak harus sejauh itu. Yang dibutuhkan, bagaimana terjadi sebuah perubahan motivasi hidup, prilaku dan watak ke arah yang lebih baik. Manusia memperoleh kualitas tertentu, dengan terus menerus bertindak dengan cara tertentu. Dengan memperbaiki diri!, kata Aristoteles (384-322 SM).

Dan ini pesan filsuf Amerika yang lahir 145 tahun silam, John Dewey bahwa pribadi bukanlah hal yang sudah jadi, tetapi sesuatu yang mengalami pembentukan terus-menerus melalui pilihan tindakan. Watak dengan demikian, merupakan kebiasaan yang diteruskan secara lama.

Di dalam pergaulan kehidupan, kita kerap menemukan orang-orang yang kita sukai dan tidak kita sukai, karena watak dan prilakunya. Adalah kebodohan yang mentakjubkan, jika ada mereka yang secara sadar tetap saja merasa nyaman, meski telah dikategorikan banyak orang berada di dalam jemaah yang sering tidak disukai orang lain karena alasan watak dan prilaku kurangbaiknya.

KENALILAH dirimu, pesan sebuah prasasti di Kuil Delphi. Ungkapan sederhana dan mungkin dituding ‘kampungan’ yang mencoba mengingatkan orang-orang terhadap entitasnya sebagai manusia beradab ini, memang tak sejalan dengan sejumlah pemikir. Andre Gide, penulis Prancis (1869-1951) misalnya, dengan sinis mengatakan, bahwa pengenalan diri sendiri bukan hanya dalil yang buruk, juga merusak.

“Siapa saja yang mengamati dirinya sendiri, akan menghentikan perkembangannya. Seekor Ulat yang berusaha mengenal dirinya, tidak akan menjelma menjadi Kupu Kupu”.

Toh saya tetap saja percaya, bahwa karena melecehkan pesan sederhana dan ‘kampungan’ itu, justru telah membuat begitu banyak manusia kehilangan peluang untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan berkualitas. Dia tetap melangkah dengan apa yang dia pikirkan sebagai hal terbaik tentang dirinya, tanpa perduli, bahwa ajaran agama, bahwa pergaulan kehidupan yang sukses dan berkualitas, menuntut standar, norma dan parameternya sendiri. Kita adalah seonggok tumpukan yang dengan mudah akan bisa membuat orang lain menjadi risih, gatal dan menjauh.

Berubah. Mengapa potongan kata ini tidak kita akui saja sebagai kunci ajaib yang akan membuka begitu banyak kemungkinan-kemungkinan terbaik dalam kehidupan? Sebab perubahan merupakan kata kunci yang mampu merentas kebekuan dan stagnasi. “Kita harus selalu mengubah, memperbaharui dan memperbaiki diri, atau kita akan semakin mengeras,” ungkap pengarang dan filsuf Jerman Johann Wolfgang von Gothe (1749-1832).

YANG dibutuhkan akhirnya, memang kemauan untuk secara sadar dan jujur menyelam ke dalam telaga diri sendiri. Mau dan mampu untuk melihat serta mengenali kerak, noktah maupun karat kekurangan dan kebusukan yang masih mengendap tersembunyi di dasar dan lubuk batin sendiri.

Kemudian bagaimana secara keras berusaha untuk melakukan proses pembersihan hati menuju kepada sebuah perubahan diri. Karena manusia, ---kata filsuf Amerika William James (1842-1910)— mampu megubah aspek-aspek luar dalam kehidupannya, dengan mengubah sikap batin di dalam pikirannya.Siapakah sebenarnya diri saya?, pekik Lewis Carrol. Ah itu akan tetap mejadi teka-teki besar, jika dia tak pernah mau untuk secara jujur menilai diri sendiri***

Keihlasan Bertuhan

APA substansi tujuan terdalam yang harus dicapai seseorang agar hidupnya bersih Tuan Guru?, tanya Sang Murid dengan suara nyaris berbisik, suatu hari di depan Tuan Guru-nya. Yang ditanya cuma diam. Membisu. Tak begerak dari sikap tunduknya yang khusu. Inderanya seolah tak tersentuh oleh sesuatu yang berada di luar dirinya.

Sang Murid segera sadar. Dia sedang menanyakan sesuatu yang berat. Diamnya Sang Guru, isyarat agar dia kembali merenungi apa yang ingin ditanyakan. Fahamkah nalarnya terhadap makna sesungguhnya dari pertanyaan itu? Ingin kehidupan yang bersih? Oh apakah ini sebuah pertanyaan yang naif? Mungkin seperti mempertanyakan konsep kontroversial fana al fana al-Khallaj? Atau sebuah non causa pro causa? Atau silang-taut pemikiran seperti gaya Will Durant tatkala membuka The Story of Philosophy-nya yang masyhur?

Kembali dia ulang pertanyaan itu. Dan kembali Sang Guru membisu. Diam, Bagai sepotong batu di hutan sepi. Tapi Sang Murid kembali berbisik. Kali ini dengan kalimat yang lebih panjang. “Saya memahami kehidupan bersih, dalam pengertiannya yang umum dan sederhana. Sesuatu yang hanya bermain di kulit. Bukan di isi. Apa yang harus saya lakukan untuk lebih memahami makna dan cara untuk mencapainya Tuan Guru? Karena sekarang saya sadar, hidup terlalu pendek dan sempit untuk saya mengerti”.

Sang Guru pelan mengangkat wajahnya. Menatap dengan sepasang matanya yang jernih. Terasa berdegup dan menggetarkan. Kalimat yang diucapkannya kemudian, menghela Sang Murid, dua puluh tahun setelah itu, ke dunia kaum Sufi. Dunia yang menurut filsuf Amerika David Thoreau, tidak hanya menuntut seseorang untuk menyelam jauh ke dasar lautan pemikiran, tetapi juga bagaimana mampu mencintai dan bersekutu dengan kebijaksanaan serta hidup berdasarkan petunjuknya. Mereka yang bersih dari nafsu hewani. Jauh dari sampah duniawi. Namun tak berarti hanyut kepada aphatheia kaum Stoics (Stoaisme), yang mengimunisasi manusia dari kenikmatan dan kesengsaraan.

“Jujurlah terhadap dirimu, agar kau lebih mampu ikhlas untuk bertuhan”. Terasa pendek. Namun seperti labirin tanpa ujung yang penuh liku. Perlu waktu sangat panjang bagi Sang Murid untuk kemudian menyimpulkan betapa seringnya menusia –mungkin tanpa sadar--- kehilangan kejujuran kepada dirinya sendiri, sekaligus kehilangan keihlasan untuk bertuhan.

Kehidupan memang menawarkan dua manajemen besar untuk dianuti. Manajemen Tuhan dan Manajemen Manusia yang selalu cendrung berdamai dengan nafsu. Tuhan telah mengajarkan keberanian kepada semua manusia untuk mengikuti jalan-Nya. Karena Dia-lah yang Maha Tahu dan Maha Benar. Tetapi oleh dalih logika, realitas empiristik universal yang merupakan kata lain dari hukum dunia, kebanyakan orang lebih kerap memilih berdamai dengan nalar duniawinya. Merasa lebih yakin dengan kebenaran manajemen manusia atau dunia. Bukan manajemen Tuhan Sang Maha Pencipta.

“Tuhan tetap dengan khusuk dan rajin dia sembah, tetapi tanpa keihlasan, karena tak percaya dengan kebenaran-Nya. Dia tidak jujur dengan dirinya,” keluh Sang Murid suatu hari. “Untuk apa aku ber-Tuhan, jika ragu, jika tidak percaya, jika tidak yakin dengan kebenaran strategi dan manajemen-Nya?,” teriak Abu Hafaz al-Naisburi, di ujung kesesatannya sambil bersimbah air mata.

Sufi kelahiran Naisyafur Irak sekitar 1.380 tahun silam yang dikenal sebagai Pandai Besi ini, sebelumnya percaya sekali dengan kebenaran Dukun. Gemar menafikan janji-janji Tuhan, karena menganggap kejujuran, hanya pakaian orang-orang tolol. Sampai dirinya terpuruk dan batinnya mampu membuktikan betapa besarnya kasih sayang Tuhan, bahkan terhadap hamba yang secara kurang ajar menantang-Nya.

Begitu banyak mereka yang tahu, bahwa Tuhan tidak suka dengan apa yang dia kerjakan. Namun ketakutan untuk rugi, gagal atau miskin, membuatnya terus berselingkuh dengan kemunafikan. Dia lebih percaya dengan manajemen Setan, ketimbang manajemen Tuhan.

Tasawuf menurut Abu Hafaz memang tidak menuntut manusia harus membenci dunia. Yang terbaik, adalah terjadinya sinergitas keseimbangan capaian antara kebahagiaan lahir dan batin. Dan sosok yang digelari al-Sufi ini, telah membuktikan, bagaimana dengan manajemen-Nya, Tuhan telah menciptakan jalan yang indah untuk itu. Jalan bagi kehidupan yang bersih. Tanpa harus membuat manusia bersikap tidak jujur dengan dirinya sendiri. Tanpa harus membuat manusia bersikap tidak ihlas dalam bertuhan.

SAYA memahami kehidupan bersih, dalam pengertiannya yang umum dan sederhana. Sesuatu yang hanya bermain di kulit. Bukan di isi. Apa yang harus saya lakukan untuk lebih memahami makna dan cara untuk mencapainya Tuan Guru? Karena sekarang saya sadar, hidup terlalu pendek dan sempit untuk saya mengerti, kata Sang Murid.

Dia mungkin mewakili kegelisahan tersembunyi dari sebagian kita, dalam memahami kejujuran terhadap diri sendiri, sebagai bagian dari jalan menuju keihlasan untuk bertuhan.*** .

Impian

APAPUN yang mungkin bisa anda lakukan dan impikan, lakukanlah secara berani! Keberanian mempunyai kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalam dirinya, kata filsuf Jerman Johann Wolfgang von Gothe.

Impian mungkin sepotong kata yang bodoh. Tetapi siapa yang menyangkal, berbagai capaian paling mentakjubkan dalam sejarah peradaban manusia selama ini, justru dimulai dari sana? Mereka yang tak punya impian, bukan hanya telah menghina Kasih Sayang dan Kemahakayaan Tuhan, sekaligus juga telah membunuh kehidupan.

Ungkapan di atas, memang sudah demikian umum dan klasiknya. Sehingga di depan sementara orang, tak patut lagi dipersoalkan. Tetapi percayalah. Merupakan fakta, masih begitu banyaknya di sekitar kita mereka yang sebenarnya pandai, punya potensi besar untuk maju, memiliki peluang dan kemungkinan untuk sukses, malah masih berkutat di batas hidup yang serba marjinal. Miskin dengan sukses dan hanya kaya dengan keluhan. Mengapa? Karena mereka tak punya sepotong kata bodoh yang bernama impian.

Impian atau obsesi memang akan tetap menjadi kata-kata kosong, tatkala hanya digantung di awang-awang. Ia baru menunjukan maknanya, saat diburu dengan perencanaan, semangat tinggi dan keyakinan, serta kejujuran yang bertaut kepada keyakinan kepada takdir Tuhan. Karena proses perwujudan sebuah impian menjadi kenyataan –kendati tidak harus mutlak dalam wujud seperti yang diinginkan namun tetap bermakna sebuah keberhasilan--- tak pernah bisa diperhitungkan secara matematis. Ada variabel kemungkinan-kemungkinan lain. Perkembangan ke arah yang tidak diperhitungkan. Ada misteri kehendak Tuhan yang mewarnai sebuah perjalanan keras mengejar impian. Karena bukankah biasanya mereka yang ulet, rajin dan jujur, umumnya akrab dengan keberhasilan?

“Ketika seseorang maju dengan penuh keyakinan ke arah impiannya, sambil berusaha menghayati kehidupan mendatang yang dibayangkannya, percaya dengan takdir baik Tuhan, dia akan bertemu dengan sukses yang tidak terduga-duga pada jam-jam yang biasa,” kata filsuf Amerika Henry David Thoreau.

Penulis dan Filsuf Jerman Johann Wolfgang von Gothe lebih mempertegasnya dengan kalimat “apapun yang mungkin bisa anda lakukan dan impikan, lakukanlah secara berani! Keberanian mempunyai kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalam dirinya

”Sukses yang tak terduga-duga dan keajaiban! Ini yang sering dilupakan oleh mereka yang sering mentertawakan para pengimpi yang bekerja keras dan jujur untuk mencapai impiannya. Sukses kehidupan, bukanlah sesuatu yang bisa diperhitungkan secara matematis.

Para pemimpin di negeri ini, pasti jauh sebelumnya tak pernah terpikir suatu ketika bisa menjadi orang penting dengan genggaman kewenangan besar di tangannya. Tapi tak perlu diherankan. Mereka antara lain memang telah menemukan apa yang disebut Thoreau sebagai : sukses yang tidak terduga-duga pada jam-jam biasa.Ada maha strategi yang mengatur perjalanan hidup mereka. Yang membuat semuanya menjadi mungkin dan pasti. Yang menciptakan keberuntungannya mampu mengetepikan kegagalannya. Yang hasilnya tidak terduga-duga.

Sukses sesungguhnya lahir dari begitu banyak faktor dan kemungkinan. Tetapi dalam rumusan sederhana di kolom ini, semua itu biasanya hanya bersumber dari sebuah keberanian untuk membangun impian dan mengejarnya, serta keberanian untuk menanggung resiko yang ditimbulkannya. Resiko sendiri, dalam pengertian positif jelas sebuah kata yang memang harus diakrabi. Karena kehidupan sendiri sudah sebuah resiko.

“Dalam masa-masa awal kehidupan manusia, yang merupakan bahaya adalah ketika anda tidak mengambil resiko,” kata filsuf Denmark Soren Kierkegaard. Jadi membangun impian, merajut ambisi dengan segala resikonya, adalah sebuah keharusan.

“Menyingkirlah dari orang-orang yang mencoba meremehkan ambisi anda,” teriak penulis dan humoris Amerika Mark Twain. “Sebab orang-orang kerdil selalu mudah meremehkan orang lain. Karena mereka tak percaya kepada keajaiban sebuah impian”.

Optimisme besar akan membuka semua pintu peluang dan kemungkinan, sekaligus juga keberutungan. Jadi untuk apa kita hanya memilih sebagai penonton, menjadi kritisi kehidupan orang lain tetapi bukan Sang Pemain? Karena sebaik apapun kritikan kita, Sang Pemain tetaplah yang lebih beruntung. Jika mereka gagal, setidaknya dalam lembaran sejarah kehidupannya ada catatan tentang perjuangan dan pengalaman untuk mencapai impian yang besar. Sementara kita tak punya apa-apa untuk ditulis.

APAPUN yang mungkin bisa anda lakukan dan impikan, lakukanlah secara berani! Keberanian mempunyai kejeniusan, kekuatan dan keajaiban di dalam dirinya, kata Johann Wolfgang von Gothe. Hanya orang-orang yang berbakat menjadi besar dan sukses, percaya dengan omongan ini.***



Luka Seorang Hamba

SEBUAH luka melintang di lengan Sang Guru. Masih merah dan terlihat menyakitkan. Ya Allah, akibat apa ini?, tanya salah seorang muridnya dengan rasa kaget dan prihatin. Sang Guru sejenak terdiam. Tak menduga ditanya begitu. Dia tergagap untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Ini luka dari kelemahan seorang hamba, akhirnya dia menjawab begitu. Sikapnya kemudian tak ingin lebih jauh dipersoalkan.

Luka seorang hamba! Luka yang boleh jadi hanya dirasakan oleh mereka yang sering merasa bersalah, malu dan tersudut di Mata Tuhannya. Berapa banyak dalam satu minggu atau satu bulan kita pergi ke rumah Ibadah? Ke tempat-tempat di mana hotbah kadang dilontarkan dengan begitu bermakna, begitu indah, begitu menyentuh dan mengharukan?

Seberapa sering kemudian selama mendengarkan hal itu, kita merasa terpukul, terhenyak bahkan terpuruk oleh rasa takut dan bersalah kepada Tuhan? Tetapi ironisnya, seberapa lama dampak positif dari rasa terpukul, terhenyak dan terpuruk itu kemudian mampu bertahan? Pekan lalu, saya sempat menangis karena tersentuh mendengar sebuah hotbah di acara televisi. Tapi dua hari kemudian, Istri saya mengamuk marah menemukan saya mabuk-mabukan dengan beberapa teman, keluh seorang sahabat dengan wajah bodoh dan tidak mengerti.

Keimanan itu seperti gelombang. Kadang ada lonjakan pada grafik konturnya yang terus merambat tinggi. Kadang juga bisa menukik turun sangat tajam. Dan tak semua kita, punya lampu trafik yang peka untuk mendeteksi dan mengingatkan area margin pada setiap perubahan kontur yang kadang sangat eksrim tersebut. Dengan agak na’if, untuk membangun lampu trafik semacam itu, Sang Guru telah secara sengaja melukai dirinya.

Parut luka yang selalu jelas terlihat mata itu, akan mengingatkan dirinya terhadap setiap perubahan grafik kontur yang akan terjadi. Parut luka itu adalah lampu merah yang akan menghentikan setiap langkah kakinya ke arah dosa.

Terlalu na’if? Mungkin. Lampu trafik itu harusnya berada di batin, bukan di fisik. Tetapi setiap orang memang punya cara dan keyakinan sendiri-sendiri untuk mendekati Tuhan. Sekitar 720 tahun silam, Ibnu Adham melepas mahkota kerajaan dan seluruh hartanya, setelah seseorang menerobos masuk di persidangan Istananya. “Akhirnya aku sampai di Terminal ini,” kata Si Lelaki lega.

Ibnu Adham langsung gusar karena sikap kurang ajar serta sebutan Terminal untuk Istana megahnya itu. Namun Si Lelaki asing itu punya alasan sendiri. “Sebelum engkau, Istana ini dahulunya ditempati Ayahmu. Sebelumnya ditempati Kakekmu. Sebelumnya lagi di tempati Moyangmu dan seterusnya. Tetapi di mana mereka semua sekarang? Di mana? Pergi untuk selamanya. Kini giliranmu yang singgah untuk kemudian juga bersiap akan pergi. Bukankah Istana ini bahkan dunia ini, sesungguhnya tak lebih dari sebuah Terminal? Mengapa engkau sangat membanggakannya?”

Ibnu Adham dan para Menterinya terpaku. Lelaki tak dikenal itu –yang diyakini sebagai Malaikat—kemudian lenyap di balik pintu. Peristiwa itu, akhirnya membawa Ibnu Adham ke perjalanan hidup seorang sufi yang jauh dari kekuasaan dan kemegahan. Dalam sejarah para sufi, dia kemudian dikenal sebagai Ibrahim Ibnu Adham Bin Manshur Ibnu Yazid Ibnu Al Ijli. Salah seorang sufi besar dari Khurasan Irak.

Luka seorang hamba Ibnu Adham, adalah pada kemewahan dan kemegahan. Setiap bersisian dengan kedua hal itu, dia melihat nyala di trafik light batinnya. Karena itu, dia campakan jubah kemewahannya yang kotor dan menukarnya dengan jubah kepapaan yang megah.Luka seorang hamba, sebagai fakta kodrati tak terhindarkan dari kedho’ifan manusia, memang bisa berarti serba bentuk dan makna.

Esensinya dalam visi argumentasi teologis yang sederhana, adalah bahwa seorang manusia sebagai homo relegius yang memiliki kepekaan transendental harusnya mempunyai pusat sinyal yang selalu mengingatkannya jika ingin melakukan perbuatan salah atau dosa-dosa. Pusat sinyal itu sendiri, sesungguhnya penyederhanaan dari kata iman.

Tetapi apa yang akan diperoleh manusia dari kerja memperindah moralnya?, pekik sinis failusuf humanis sekuler ‘pembunuh tuhan’ (Requiem Aeternam Deo!) Friedrich Wilhelm Nietzsche. Pertanyaan paradoksal ini, pada dasarnya (tanpa melirik konsep Adi Manusia atau ubermensch Nietzsche) justru sebenarnya menggugat kosensepsi kehidupan yang mengetepikan urgensi moralitas di strata derajat nilai kehidupan manusia. Ia malah sebuah penegasan substantif, bahwa eksistensi manusia, dihargai oleh kualitas moralnya.

Dengan demikian, keindahan tertinggi kualitas manusia, terletak kepada nilai moralnya. Bukan kepada takaran materi dan akalnya.Namun juga tidaklah benar, bahwa luka seorang hamba kemudian mengharuskan manusia untuk menjauhi dunia, seperti pilihan yang diambil Ibnu Adham. Dalam konsep ajaran neo-sufisme, manusia justru diarahkan untuk berjuang menyeimbangkan kehidupan di dunia dengan kepentingan akhirat. Dan keseimbangan itu hanya mungkin dikendalikan oleh moralitas yang baik. Dengan watak yang terpuji.

LUKA itu terlihat masih melintang merah. Ini luka dari seorang hamba yang sering kalah bertarung untuk melawan nafsu rendahnya, keluh Sang Guru dengan perasaan pedih dan malu. Kita semua, mungkin punya luka yang serupa. Hanya masalahnya, apakah kita sadar dan kemudian sungguh-sungguh untuk mempersoalkannya?**

Para Saksi

HAMPIR dua puluh tahun silam. Di suatu malam yang larut. Dingin. Sepi dan kelam. Di antara kabut embun yang tipis, saya meluncur laju sendirian di atas sebuah sepeda motor. Seseorang dengan kendaraannya, mendadak melesat mendahului ke depan. Sangat cepat bagai terbang. Seseorang yang tak saya kenal. Namun mendadak kecepatannya dikurangi. Membiarkan saya bersisian dengannya. Dia kemudian berteriak untuk mengatasi suara kendaraan yang menderu nyaring. “Standarnya, Mas,” ujarnya memperingatkan sambil menunjuk ke arah standar sepeda motor saya yang ternyata lupa dinaikkan, sebelum kemudian kembali melesat kencang ke depan. Lenyap di balik tikungan.

Saya terkesiap. Astaga! Dengan kecepatan tinggi seperti ini, jika nanti membelok di tikungan di depan, sulit bagi saya untuk tidak sampai terpental jatuh, karena standar kendaraan yang masih terpasang.Saya tidak kenal dengan orang itu. Juga tak sempat untuk melihat wajahnya. Namun satu hal yang pasti, di balik persoalan yang sedang dihadapinya, dan itu entah apa, dia masih sempat melakukan hal yang ‘remeh’ namun demikian berharga bagi orang lain.

Pahamilah, siapapun yang penting bagi orang lain, sebenarnya adalah orang penting, kata motivator Amerika Zig Ziglar. Nilai seorang manusia, distandarkan dari seberapa berharga dirinya untuk kehidupan orang lain.Argumentum ad populum. Sebuah argumentasi yang besifat universal memang –secara filosofis--, tatkala kita memvisikan ukuran nilai eksistensialitas manusia, dari makna yang bisa diperoleh manusia lainnya. Standar ini, secara moralitas adalah baku.

Seseorang menjadi berharga, karena mampu membuat orang lain juga berharga. Lantaran itu, orang penting secara esensial biasanya, akan membuat orang-orang di sekitarnya merasa ikut menjadi penting. Bukan sebaliknya. Merasa menjadi tidak penting. Atau bahkan merasa tidak menjadi apa-apa.

Tulisan ini, sebenarnya hanya ingin kembali menggarisbawahi tentang serpihan-serpihan kecil prilaku keseharian manusia yang sadar atau tidak, secara batin sebenarnya akan mewarnai wajah dan nilai kehidupannya. Serpihan-serpihan yang sekaligus juga akan menjadi para Saksi yang jujur tentang dirinya. Tidak hanya di dunia tetapi juga di hadapan Tuhannya.

Sekitar empat ratus tahun silam, Jahanara putri Raja Maghul Shahjahan (pendiri Taj Mahal) yang dinilai orientalis Inggris Carl W Ernst Ph.D (Teaching of Sufism) sebagai sufi wanita yang cemerlang, menyebut tentang salah satu kenaifan manusia. “Setiap hari, mereka suka mengotori hidupnya dengan lumpur yang menjijikan,” kata penulis buku Tarekat Chistiyah yang dimakamkan di Delhi India ini.

Manusia –kata lain sufi Syeh Siti Jenar—adalah wadag, seonggok daging busuk yang terus bergerak dengan menjijikan. Kognisi sufistik yang ingin dikemukakan kedua Wali ini, mungkin keharusan manusia untuk terus membersihkan jiwanya. Bukan justru mengotorinya. Karena hanya di jiwa yang lapang dan tenang kejernihan pikiran serta kebahagiaan sejati yang dilahirkan oleh rasa ihlas sebagai manusia sekaligus hamba Tuhan, lebih memungkinkan untuk dikecap seseorang.

Tetapi bagaimana mungkin ada jiwa yang lapang, jika manusia tidak menghargai makna penting, cinta kasih dan toleransi terhadap sesamanya? Lihatlah di jalanan. Bagaimana kita tidak gampang meski sebenarnya punya kesempatan, untuk sedikit mengalah memberikan jalan bagi kendaraan lain yang sedang berusaha untuk melintas di persimpangan. Bagaimana kita enggan utuk mau turun membantu mendorong mobil orang lain yang sedang mogok, sementara pemiliknya yang hanya sendirian, sedang kebingungan dan memelas memohon bantuan. Bagaimana kita lebih cendrung untuk memilih mengeluarkan sapu tangan sebagai ungkapan kesedihan terhadap mereka yang sedang ditimpa kesusahan, ketimbang mengeluarkan dompet sebagai bentuk bantuan yang lebih dibutuhkan. Bagaimana kita……..

Mereka yang sering lebih memilih mengalah secara wajar untuk mendahulukan kepentingan orang lain, gemar berusaha membantu meringankan beban mereka yang sedang kesusahan, adalah orang-orang yang sumber kesenangan dan kebahagiaan di hatinya memang terletak dari kemampuannya dalam membuat orang lain juga senang dan berbahagia. Sesuatu yang hanya mungkin dimiliki oleh orang baik yang rendah hati. Sementara dari kerendahan hati lahir sikap manusiawi. Sebuah biji yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang dan toleransi.

Kita mungkin memiliki bibit-bibit itu. Persoalannya adalah keengganan untuk mau terus memupuk dan menumbuhkannya sehingga berpokok, berbunga dan berbuah. Bagaimana biji itu bisa terus melahirkan para Saksi yang terpuji. Para Saksi! Pada saat orang lain tersenyum menghargai, karena menyaksikan sikap mengalah kita, ketika orang-orang mengangguk terharu karena ketulusan uluran tangan kita, ketika dan ketika…. mereka semua adalah para Saksi kita. Begitu juga ketika yang dilakukan hal-hal yang kurang terpuji. Kekesalan kejengkelan, kekecewaan orang lain, adalah para Saksi kita dalam makna yang lain. Satu minggu untuk tujuh saksi. Setahun untuk 360 Saksi. Saksi mana yang ingin kita hadirkan?

HAMPIR dua puluh tahun silam. Di suatu malam yang larut, dingin, sepi dan agak kelam. Saya meluncur laju sendirian di atas sebuah sepeda motor. Seseorang dengan kendaraannya, mendadak melesat mendahului ke depan. Seseorang yang tak saya kenal. Seseorang yang telah mengajarkan kepada saya, tentang sisi lain yang sederhana, dari esensi nilai-nilai dalam kehidupan yang demikian berharga. Seseorang yang telah menjadikan saya sebagai salah seorang Saksi-nya**

Mari Menjadi Bijak

SAYA katakan kepada Anda, masa lalu adalah seember abu.

Apakah dengan ungkapan ini, Carl Sandburge –penyair Amerika yang meninggal 1967 silam— menafikan fakta, bahwa pengalaman adalah Guru terbaik? Meski ia menuntut uang sekolah yang mahal?

Saya pikir mungkin tidak. Sandburge hanya bicara tentang sinisme. Masa lalu justru barang berharga di mata orang-orang yang bijak. “Saya telah dimuliakan oleh masa lalu,” kata Plato. Karena kebijaksanaan antara lain, juga lahir dari kualitas kemampuan seseorang, dalam menyikapi apa yang telah terjadi dan berlalu. Bagaimana dia menjadikan pengalaman-pengalaman lahirnya menjadi pengalaman batin. Bagaimana dia merubah sebuah sinar biasa, menjadi berkilat dan bercahaya.

Ketika Anda nyaris ditabrak sebuah mobil, pada sementara orang itu mungkin sebuah pengalaman biasa. Seperti kejutan yang membuatnya sejenak terkesiap, kemudian terlupakan. Mungkin seperti gelegar guntur di siang bolong. Detik-detik setelah itu, kembali berjalan rutin seperti biasa. Hampir tanpa kesan apa-apa.Tetapi bagaimana ketika mobil itu benar-benar telah menabrak Anda? Mungkin ada jarum infus di tangan dan pipa oksigen di hidung. Operasi di sejumlah tubuh yang cacat atau terluka parah serta logam di bagian tulang-tulang yang patah. Keluarga menanti dengan tegang dan gundah, sementara masa depan berubah menjadi mendung yang menghitam.

Lalu akan lebih buruk lagi, jika saat mata terbuka, kita sudah berada di bawah Makam yang sempit, pengap dan gelap gulita. Bersiap menunggu peradilan-Nya, (dan yang lebih mengerikan), tanpa bekal selaras dengan perintah-Nya. Apa yang bisa dikatakan, andai semua ini yang terjadi? Sejauh mana, di dalam rutinitas keseharian ini, misteri kehendak Tuhan mampu kita sadari?

Sebuah peristiwa, memang tak bakal menghasilkan apa-apa, jika sekedar diterima sebagai pengalaman biasa. Ia baru akan menjadi berkilat dan bercahaya, manakala dicerna dan dijadikan sebagai pengalaman batin. Sekaligus ini juga membedakan pola berpikir seseorang biasa, dengan mereka yang bijak, dalam menyikapi sebuah peristiwa.

Kemampuan untuk menjadikan berbagai kejadian di dalam kehidupan sebagai pengalaman batin, memang akan menciptakan sebuah proses pengkayaan jiwa. Seperti dikatakan Plato, atau juga faham filsafat kaum Stokisme, maupun para sufi yang asketik, kebijaksanaan kadang juga dilahirkan oleh remah-remah seolah tak bernilai yang terselip di sampah waktu. Seperti ketika kita nyaris ditabrak mobil. Seperti ketika kita nyaris bangkrut. Seperti ketika kita menyaksikan bencana, kemalangan, kesialan atau sukses dan keberuntungan yang menimpa kita, atau orang lain di sekitar kita. Atau seseorang lain yang tak kita kenal di ujung benua sana.

Saya katakan kepada Anda, masa lalu adalah seember abu, kata Carl Sandburge. Itu kalau setiap perjalanan waktu yang praktis juga pertambahan usia setiap manusia tidak dijadikan sebagai potensi terhadap pertambahan nilai bagi batin dan jiwanya. Dan pengkayaan jiwa yang melahirkan perbaikan serta pemurnian watak, karakter, prilaku maupun keimanan yang merupakan jalan menuju kebijaksanaan, sesungguhnya telah menjadi kewajiban humanistik yang bersifat sangat universal. Kemudian hanya di ladang watak dan keimanan yang baiklah, pohon kebijaksaan memungkinkan tumbuh dan berkembang.

“Jiwa yang bijak, tidak akan hidup di batin yang kotor,” komentar sufistik al-Farabi.Kolom sederhana ini, tak pernah bosan untuk selalu menggarisbawahi makna penting dari penegakan moralitas. Karena moral yang baik, merupakan kunci esensial ke arah sukses kehidupan yang berbahagia. Mengapa? “Lebih banyak orang gagal di dalam kehidupan karena faktor cacat karakternya, ketimbang oleh alasan-alasan lainnya,” kata pakar pembangunan pribadi Dr D James Kennedy.Thomas Jefferson punya pandangan yang linear dengan argumentasi itu.

Menurut dia, tidak ada apapun yang bisa mencegah orang dengan sikap mental yang benar untuk mencapai tujuannya, seperti juga tidak ada apapun di bumi ini yang bisa menolong orang dengan sikap mental yang salah.Sekitar 2012 tahun silam, filsuf Lucius Annaeus Seneca mengatakan bahwa kebijaksanaan sebenarnya tidak tampak dengan sendirinya dalam aturan tingkah laku atau selera kehidupan. Kebijaksanaan selalu ditunjukan oleh nafas kebenaran yang mengkombinasikan pikiran, perkataan dan tindakan dalam satu warna.

SEPERTI Kerang, waktu yang berlalu, butir dan serpihan pengalaman hidup pada setiap kita, juga menyimpan mutiara berharga. Sesuatu yang akan tetap tersembunyi, andai tak diungkap, digosok dan dicerna menjadi berkilat serta bercahaya. Hanya bagi mereka yang tak bijak memang, masa lalu tak lebih berharga dari seember abu.**